If you have young girls at home, or a niece, or a neighbor with young daughters, or even an office colleague who has a little girl, you will definitely know who Elsa is. If you don’t, you are one of few lucky people in the world. Seriously.
Sejak film Frozen yang melejitkan Queen Elsa of Arendelle diluncurkan, hampir seluruh anak-anak perempuan di dunia sontak demam Elsa: lagunya, bajunya, mahkotanya, sepatunya, sampai cara dia mengikat rambut. Dan lagunya itu loh…ya ampuuuuun tobat bisa merajai music player di rumah, di mobil, di hape, bahkan di kamar mandi. Diulang ulang ulang ulang ulang… Elsa the Queen of Arendelle has conquered the very heart of young girls in the world. Padahal, di film Frozen itu, pahlawannya justru bukan Elsa.
Seperti yang kalian tahu lah, sosok Elsa ini digambarkan cantik, punya kekuatan luar biasa, punya power (kan Ratu), anak kesayangan orang tua, dan kurusnya luar biasa. Sekarang ya kalau elo cakepnya gak ketulungan, punya kekuatan magis, kaya raya, punya bentuk badan size 0, anak raja, kesayangan semua orang….terus masalah lo apaaaa? Iya kan? Malah di film ini, si Elsa menjadi masalah karena kekuatannya yang bisa membentuk es harus disembunyikan. Atas didikan ortunya, bertahun-tahun Elsa ketakutan kalau orang tahu kekuatannya. Padahal kalau saya jadi Elsa, buseeeet, malah bakal saya pakai untuk bikin wahana salju terus saya bisnisin :). Dan kalau sampai ada yang nekat cari masalah sama saya, saya sentil kepalanya pakai es batu dari jauh :D.
Karena karakter Elsa yang ketakutan terus ini, yang jadi pahlawan justru si Anna, adik Elsa yang dipinggirkan, yang kesepian, yang kalau main dan nyanyi sendirian. Si Anna -yang juga cantik, karena di film semua orang harus cantik- ini justru menjadi sosok pemberani yang ikhlas membela kakaknya yang kalau gak lagi ketakutan ya lagi marah-marah itu, rela jalan sendirian malam-malam di tengah salju untuk mencari kakaknya, berani melawan yang jahat-jahat, dan ikhlas jadi patung es demi menolong kakaknya. Padahal, dia mau kawin sama pangeran ganteng aja ditolak si Ratu Elsa. Tapi entah kenapa, di benak anak-anak perempuan, yang jadi pahlawan -setidaknya dari tingkat ke-fans-an mereka- justru si Elsa! Gak terima dong saya!
Kenapa sih saya sampai menulis soal Elsa dengan kesalnya ini? Ini gara-gara Aiko, anak perempuan saya yang juga terkena demam Elsa, minta saya untuk mengepang rambutnya seperti rambut Elsa (tanda seru sepuluh biji). Sebagai informasi ya, kepang rambut Elsa itu susah! Karena posisinya yang disamping, bukan di belakang kepala. Juga karena sejak saya sadar saya punya rambut, saya enggaaaaak pernah menguncir, apalagi (bisa) mengepang rambut. Menguncir dan mengepang rambut adalah keahlian saya yang sama menyedihkannya dengan memasak. Oke, demi anak, saya rela menghabiskan waktu bermenit-menit mengepang rambutnya seperti Elsa, tentu sembari diomeli anak yang belum berumur 4 tahun itu karena bongkar pasang terus.
Di sela-sela usaha mengepang saya, saya akhirnya bertanya ke Aiko. “Kenapa sih enggak kepang seperti Anna aja?” Maksud saya, kepangan Anna lebih mudah. Rambut dibagi dua kanan kiri terus di kepang. Simetris. Sederhana. Gak nyusahin. Jawaban Aiko yang masih 3 tahun lebih ini sederhana: “Kan Elsa jagowannya, Mam.”
Maka dimulailah ceramah panjang lebar saya tentang Elsa, Anna, dan nilai-nilai baik yang salah target.
Elsa lebih cantik.
Anna juga cantik. Suka tersenyum. Baik hati. Senyumnya cantik. Elsa menangis terus tuh.
Elsa bajunya bagus.
(Oke lah ini bener sih) Baju Anna juga bagus…
Elsa bisa membuat es.
Anna bisa…Anna pemberani! Bisa naik kuda sendirian, tidak takut jalan sendiri malam-malam, berani dengan monster es.
Elsa yang bikin monster esnya, Mam!
Iya. Tapi monster kan jahat. Dan Anna berani melawan yang jahat!
Elsa juga berani jalan sendirian ke puncak gunung. Terus malah bikin istana es di sana.
(Saya keabisan ide) Elsa pergi ke gunung karena ketakutan. Terus yang menolong malah Anna kan?
Bukan takut, Mam. Kan Elsa anak baik. Kan kata papa mamanya, Elsa gak boleh main dengan es.
Iya tuh kenapa sih dia harus sembunyikan kekuatannya? Kalau aku punya kekuatannya Elsa, aku malah mau buat seluncuran salju di halaman…
Yang terakhir ini komentarnya Hikari yang tiba-tiba nimbrung.
Terus terang setelah itu saya jadi mikir. Honestly, I feel sorry for Elsa. Dia menjadi orang yang diinginkan orang lain, bukan yang diinginkan dirinya. Tapi, bahwa Aiko dan anak-anak perempuan lain lebih tertarik menjadi sosok Elsa dibanding Anna, saya tiba-tiba merasa tugas saya sebagai ibu yang punya anak perempuan menjadi lebih berat. Karena jujur saja, saya akan lebih tenang bila anak perempuan saya itu melihat dirinya sebagai sosok yang ‘bisa menolong walau tanpa kekuatan’ dibanding sosok yang ‘punya kekuatan tapi hanya (bisa) menjadi korban.’
Saya terlalu serius ya nonton filmnya?
*gambar: propertinya Aiko yang dibeli setelah merengek sebulan penuh.