To Make Passport, or Not to Make Passport

Sebagai warga Jakarta pinggiran tulen, ada 3 hal yang sebisa mungkin saya hindari: makan di lapak Amigos (agak minggir got sedikit), macet akibat banjir, dan bikin passport. Hal pertama dan kedua masih bisa dibikinkan strategi supaya tidak terlalu membawa bencana. Hal ketiga…well

Passport kedua saya sebenarnya sudah expired sejak setahun lalu. Dan mengenang perjuangan membuat passport pertama dan kedua tersebut cukup untuk bikin saya terkapok-kapok untuk balik ke kantor imigrasi lagi. Bukan hanya soal antrinya yang dari kantor belum buka sampai kantor tutup -pun masih harus bolak balik!- juga karena dua kali datang menyerahkan dokumen ke petugas resmi selalu dikembalikan dokumennya dan ditambahkan kalimat ‘Lebih baik pakai calo supaya bisa selesai.’ Yup.
Toh, seperti juga laporan pajak tahunan itu, suka nggak suka, trauma nggak trauma, akan ketemu saatnya kita harus membuat/memperpanjang passport.

Seperti hari ini.

Sudah sejak dua minggu sebelumnya saya browse semua cerita tentang pembuatan passport. Dari bahan-bahan browsing itu saya mendapat info bahwa pelayanan kantor imigrasi sudah jauuuuuh lebih baik dibanding 5 tahun lalu saya bikin passport. Bahkan teman kantor yang baru saja selesai proses passport ikut menyebarkan kabar baik pelayanan passport sekarang ini. Masalahnya cuma satu, kabar baik ini hanya berlaku bila saya ambil jalur pembuatan passport online. Kalau bikin passport dengan cara manual atau walk in, duuuuuuh ceritanya bikin hati ciut. Karena? Karena antrian pengambilan nomor dimulai bahkan sebelum azan Subuh!

Waktu saya cerita ke Papap tentang antrian sebelum azan Subuh ini, jelas si Papap bikin pertunjukan memutar bola matanya. Karena saya tidak punya waktu untuk membuat passport cara online, saya menguatkan hati dan membuat strategi kemping terbaik demi mengantri membuat passport. Strategi tersebut mencakup bangun jam 3:30 pagi dan berangkat jam 4:30 pagi, bikin roti sandwich yang cukup mengenyangkan, bawa coklat untuk menjaga pasokan gula dan semangat, botol minuman diisi penuh, handuk kecil, kemeja rapi yang tidak ribet bila dipakai antri berjam-jam, pakai bedak dan lipstik yang tahan panas, keringat, dan minyak, dan nomor telpon taksi untuk mengantar di pagi buta. Setelah itu saya baru sadar saya malah belum siapkan dokumen-dokumen yang diperlukan….

Malam sebelum kejadian, si Papap tiba-tiba mau mengantar. Antar doang, karena dia harus pergi ke kantor setelahnya. Tapi dia tetap tidak percaya dengan cerita harus mengantri dari jam 5 pagi. Bolak-balik dia tanyaaaaaa soal itu terus. Akhirnya, jam 4:45 pagi (telat 15 menit dari rencana semula), kami meluncur ke Kantor Imigrasi Jakarta Selatan.

Kami tiba di kantor imigrasi jam 5:15.
Dan saya sudah di posisi ke 23.

Kalau ada hal positif yang bisa saya tarik dari kondisi ini adalah…”Tuuuh kan, Pap, I told you, so!”

Begitu keluar dari mobil, saya disambut petugas parkir yang langsung menunjuk deretan map dokumen yang ditaruh rapi berjejer antri di lantai lobi kantor imigrasi. “Taruh dokumennya di situ, Bu. Penananda antrian.”
Baruuuuu aja saya taruh dokumen saya, sedetik kemudian ada tiga dokumen lain berjejer setelah saya. Imagine that! Mau menyela antrian? Siap-siap didamprat ditegur dengan keras oleh orang-orang seperti yang terjadi pada seorang Ibu dan seorang Bapak nekat.
Setelah itu? Kami duduk menggelosor di lantai menunggu petugas membuka pintu kantor jam 7 pagi. Imagine that!

Karena harus langsung ke kantor, Papap pun meninggalkan saya dengan muka bersalah. Tiap jam dia bbm bertanya sudah sampai mana progresnya. Bekal sudah dimakan? Minuman masih ada? Otak masih waras? Emosi masih stabil?

Kantor imigrasi pun dibuka tepat jam 7 pagi dan dari situ proses pembuatan passport dimulai, diawali dengan screening kelengkapan dokumen, mengambil nomor antrian, sampai menunggu wawancara. Saya harus akui, pelayanan kantor imigrasi ini sangat baik: tepat waktu, informasi jelas diberikan, ruang tunggu wawancara nyaman, tidak ada calo, tidak ada tambahan biaya siluman macam RAPBD Jakarta, dan petugas yang tegas namun sopan dan informatif. Apabila mereka bisa menemukan solusi untuk bisa memanusiakan cara mengantri sebelum kantor buka, saya akan kasih komen: Sempurna!

Antrian untuk wawancara berlangsung cepat. Saya dapat nomor 18 untuk kelompok Walk In karena beberapa orang di depan saya tidak bisa diproses dokumennya sehingga harus balik lagi besok-besok (sakitnya tuh di sini kaaaan, cyn?). Jam 9:30an nomor saya dipanggil untuk diproses. Seneng? Awalnya 🙂 Sampai terjadi sistem komputer yang hang terus sehingga pemrosesan dokumen saya jadi luamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget! Hampir satu jam! Petugas imigrasinya sih meminta maaf bolak-balik sambil sesekali bercanda. Tapi ya rada bete juga sih. Apalagi dari 10 jari yang di-scan, cuma 1 jari yang sidik jarinya jelas. Jadi harus mengulang-ulang deh. Akhirnya selesai semuanya sekitar jam 10:30, dan yang ada di kepala saya adalah makan dua bungkus nasi padang pakai rendang, sayur daun singkong, telur asin, dan sambal yang banyak! Total lima setengah jam, boooooooo! That is, ladies and gentlemen, the reason behind every ugly passport photo of Jakartans!

So, kalian mau harus bikin passport di Jakarta?
Datang sebelum azan Subuh ya. Ini bukan mitos, bukan hoax, apalagi informasi menyesatkan. Ini pengalaman tadi pagi, sodara-sodaraaaaa…..!

Oh iya. Jangan pakai high heels. Ya…saya sih cuma kasian ajah sama betisnya…

Leave a Reply