Pulang kantor tadi, si Papap mengajak melipir ke salah satu resto steak di daerah Cibubur. Di dalam, sang pelayan laki-laki sigap mencatat pesanan saya, yang salah satu pesanannya berbunyi:
“Cappuccino, hot, satu. Teh panas, satu, gula dipisah ya.”
Pesanan minuman saya dan Papap datang lebih dulu dibawa oleh pelayan yang sama yang sebelumnya mencatat semua pesanan kami.
Cangkir teh dan gula cair turun duluan dari nampan. Tanpa ragu, si pelayan menaruh cangkir teh dan gula persis di depan saya. Selanjutnya giliran cangkir Cappucino yang turun langsung diletakkan -tanpa ada keraguan barang sebiji pun- di depan Papap yang duduk di hadapan saya.
Seperti yang sudah-sudah, si Papap yang selalu kalem menunggu semua cangkir turun, kemudian meraih cangkir kopi dan menaruhnya di depan saya. Selanjutnya cangkir teh diraihnya ditarik ke depan hidungnya.
Selalu. Setiap kali. Entah saya atau Papap harus menukar posisi minuman kami di restoran apabila pilihannya adalah kopi dan teh, kopi dan soda, kopi dan air putih, kopi dan jeruk hangat… Selalu. Setiap kali, pelayan kami akan bersuara aneh, “eemmmeennnggghhhmmm” yang akan diikuti dengan, “oh. Maaf.”
Entah kapan mulainya secangkir minuman jenis tertentu bisa identik dengan gender tertentu.
Kemudian saya jadi mikir sendiri, kenapa saya gak bisa mikir isu gender dalam konteks yang lebih penting, seperti Kartini…..
Selamat datang April!
Gambar diambil dari sini.