Setelah Menonton Pendekar Tongkat Emas, Lalu…?

pendekar tongat emas 1

Saya gak nyangka yang bisa membuat saya pengin menulis lagi adalah gara-gara saya habis menonton film Pendekar Tongkat Emas 🙂 Jadi kalau ada yang tanya bagus atau tidaknya film ini, seenggaknya film ini menginspirasi saya untuk mengisi blog lagi.

Jadi, sejak film ini digaung-gaungkan akan segera tayang, teman-teman saya mulai menjalankan misi nasionalisme mereka dengan bergerak membujuk semua orang untuk menonton ‘Film karya anak Indonesia.’ Demi rasa nasionalisme itu, eh enggak ding, demi rasa ingin tahu karena katanyaaaaaaaaaaaa film ini buagus bingits, saya ajak Papap nonton. Tentu dia gak mau.
Saya tidak menyerah dan mengajak sekali lagi. Sekali lagi Papap gak mau. Dia malah mau beli tiket ‘The Hobbits’ walaupun saya sudah mengeluarkan jurus alasan ‘Yang namanya film Hobbits ya pasti dia lagi yang menang, Pap! Kalau ini kan kita belum tau siapa yang menang!’ Papap tetap gak mau nonton dengan alasan ‘film apaan sih itu?!’
Sebenarnya saya agak susah menjelaskan ke dia PTE ini film apa. Dibilang film Kungfu kok yang bikin orang Indonesia (gak meyakinkan gitu loh). Dibilang film action bela diri dengan pemain orang Indonesia kok Kungfu bukan Silat? Dibilang film Kungfu kok lokasinya di Sumba?

Tapi seorang perempuan yang kekeuh surekeuh tidak perlu alasan logis untuk bisa menggeret laki-laki menonton film pilihan sang perempuan. Percaya deh.

Jadi, pagi itu si Papap ngajak saya keliling Jakarta mampir di beberapa lokasi untuk membetulkan beberapa gadget miliknya, termasuuuuk ke Atrium Senen untuk urusan mobil. Saya sejujurnya males-bete-sebel kalau diajak ngurusin gadget dan mobil. Tapi Papap juga males-bete-sebel kalau disuruh jalan sendirian. Dia penginnya ditemenin duduk di sebelah bangku supir walaupun yang nemenin (saya!) sepanjang jalan cuma tidur, manyun, tidur, ngunyah gak bagi-bagi dia, tidur, gonta-ganti channel musik, tidur lagi. Singkatnya, sampai lah kami di Atrium Senen untuk urusan mobil. Saya digeret ke sana ke mari demi sepotong alat yang saya gak tau namanya atau fungsinya. Naaah, pas harus tunggu montir mencari alat yang Papap cari, gantian saya geret Papap ke bioskop :).

Si bocah Angin
Si bocah Angin

Film PTE ini bisa membuat saya berpikir sih. So, it’s good. Ceritanya yang berasal dari komik ini believable walaupun settingnya menaruh Kungfu di pulau Sumba dengan tenunnya yang keren-keren itu. Saya juga salut dengan gerakan-gerakan Kungfu yang diperagakan para aktor karena seperti memperlihatkan kerja keras mereka untuk film ini. Saya cinta dengan si bocah Angin Aria Kusumah yang menurut saya dari segi gerakan Kungfu dan karakter udah TOP banget dah! (sincerely from someone yang jalan kaki biasa aja bisa jatuh)
Ada beberapa hal yang bisa saya komplen -since I’m a consistent complainer- dari film ini misalnya:
– Jalan ceritanya terlalu lambat. Mungkin karena scene pemandangan -yang cantik buanget sih tapi- terlalu banyak. Waaay too many!
– Sosok Eva Celia yang gak kayak pendekar. Padahal dia cakep. Eh.

Sisanya, saya menikmati film ini. Terutama melihat Nicholas Saputra yang gerakan Kungfunya juga believable. Saat film ini berakhir dengan ending yang seperti itu, saya termangu. At least what this movie shows me is life is a cycle. You think it ends while it actually just started.

Bagaimana dengan Papap? Dia cukup sayang dengan saya karena tidak tidur di tengah film dan tidak berkomentar apa pun -apa pun- sampai sekarang! Haha!

Foto diambil dari cinema21.

Leave a Reply