The Hero has Returned Home

Ingatan saya akan Eyang Kakung terbagi dalam tiga seragam: seragam tentara PETA yang foto buramnya terpajang di dinding rumahnya, seragam safari yang selalu dipakainya setiap kali bepergian, dan seragam Jawa lengkap dengan kain, beskap, dan blankon yang dipakainya setiap kali ada acara adat. Dengan 10 anak, puluhan cucu, dan beberapa beberapa cicit, Eyang Kakung cukup sering memakai pakaian Jawi Jangkep lengkap.

Cerita-cerita masa mudanya seperti yang sering saya baca di buku sejarah. Bergabung dengan tentara pelajar dan disuruh tidur di kuburan oleh keluarganya karena mereka takut rumah mereka digeledah Belanda, dan kemudian digeledah Jepang. Saking seringnya tidur di kuburan, Eyang Kakung pernah memberi saya pesan penting tentang dunia: Manusia bisa lebih jahat dibanding seluruh dedemit yang tinggal di kuburan.
Selesai perang, Eyang bergabung dengan Kepolisian RI. Cerita-ceritanya masih seseru sebelumnya. Dari terserempet peluru di pelipisnya sampai duel dengan makhluk gaib. Si Mami pernah bercerita saat tidur di rumah dinas yang bekas rumah sakit Belanda di daerah Jakarta, Eyang Kakung pernah bergumul dengan sosok tidak terlihat lengkap dengan pistolnya. Pistol itu meletus dan menembus plafon rumah.

Selesai dengan dinasnya di Kepolisian, Eyang Kakung aktif di kegiatan kemasyarakatan dan baju dinasnya berganti menjadi safari. Eyang bahkan pernah didapuk menjadi ketua RW bertahun-tahun karena selalu terpilih kembali setiap tahunnya. Suatu hari saat saya SMA, saya jatuh pingsan di sekolah saat ujian sekolah. Eyang Kakung diutus oleh si Mami dan Kumendan yang sedang di luar kota untuk menjemput saya. Saya ingat ada kehebohan di sekolah yang menyangka ada pejabat datang. Seragam safari ternyata punya efek dahsyat di masa orde baru. Hari itu Eyang Kakung bilang saya harus cepat sembuh supaya besok bisa tetap ikut ujian. Sosok bersafarinya mengantarkan saya ke gerbang sekolah keesokan pagi dan menunggui saya hingga selesai. Pesannya selalu ‘it’s okay to get sick, get hurt, fall down, but then pick yourself up and live again.’

Eyang Kakung selalu menjadi orang yang positif. Hidup ini harus disyukuri. Masalah yang datang adalah bagian dari hal yang mematangkan. Manusia pada dasarnya baik. Apa yang diinginkan harus diperjuangkan. Namun sebagai salah satu orang Indonesia yang pernah berjuang untuk negara ini, hatinya patah berkali-kali setiap menonton berita di TV atau membaca berita di koran. Sudah bertahun-tahun Eyang Kakung tidak menonton TV.

Tahun ini usia Eyang Kakung sekitar 85 tahun. Sekitar, karena tidak ada surat atau penanda kelahiran ketika Eyang Kakung lahir dulu. Sudah dua tahun beliau tanpa suara sejak kanker tenggorokan merampas pita suara dan membuat Eyang Kakung harus hidup dengan lubang di tenggorokan. Tapi semangat hidupnya tidak pernah meredup, bahkan ketika rasa sakit Kemoterapi harus dijalaninya. Ketika rasa sakitnya tak bisa ditahan, yang dilakukan Eyang bukan mengeluh. Ditarik-tariknya telinganya hingga memerah untuk menahan rasa sakit. Dan kami menemukan hal ini belakangan ketika telinganya terlihat bertambah merah setiap kali kami melihatnya.

Ketika beberapa minggu yang lalu Eyang Kakung tidak bisa lagi menelan apa pun, beliau masih menolak untuk menyerah. Dimintanya semua makanan dicairkan sehingga bisa masuk ke lambungnya. Ketika Eyang harus dibawa ke UGD dan kemudian masuk ke ICU, kami semua melihat perjuangannya untuk tetap sadar. He didn’t want to give up.

Hari Rabu malam kemarin rupanya Eyang Kakung memutuskan waktunya tiba untuk pulang menemui Almarhumah Eyang Uti. Saya memandangi foto dirinya yang tergantung di dinding rumahnya. Eyang Kakung mengenakan kopiah hitam dan safari biru kesayangannya sedang tersenyum lebar. Beliau pasti sedang tersenyum lebar juga di atas sana, entah dengan safarinya atau dengan seragam pejuangnya. I miss him already.

Leave a Reply