Ketika Kita Bilang I Love You

Saya pikir Papap sudah tidur malam itu. Matanya sudah tertutup sementara tangannya memeluk baby Aiko yang tidur nyenyak di sebelahnya. Saya merebahkan diri di sebelah Aiko. Tangan Papap tiba-tiba bergerak-gerak menepuk-nepuk Aiko. Dia lalu menciumnya.
“Mam,” panggil Papap.
“Aku jadi mikir.”
“Kita kan sayang sama anak kayak gini ya. Dicium-cium. Dipeluk-peluk.”
“Terus kalau anak kita pas besar jadi kurang ajar, rasanya gimana ya. Padahal kecilnya kita sayang banget begini. Apa mereka tahu kita sayang mereka?”

Saya terdiam. Papap jarang ngomong panjang. Dan kalau dia ngomong panjang dengan isi yang dalam di tengah malam, kantuk saya pun mendadak hilang.

Saya yakin pertanyaan si Papap sudah pernah atau malah selalu dilontarkan atau dipikirkan oleh para orang tua sejak jaman dahulu kala. Saya juga yakin pertanyaan semacam itu yang jadi inspirasi para penulis lagu, penulis buku, penulis skenario film, penulis puisi sehingga menghasilkan satu pernyataan: If you love them, tell them. Hitung aja berapa banyaknya film yang mengambil adegan pemerannya menangis menyesal karena orang yang dicintai mereka keburu pergi sebelum mereka sempat bilang, “aku sayang kamu, cyiiiintaaah!”

Tapi bayangin dengan para orang tua generasi di atas kita. Di Asia pulak. Mana mungkin mereka mau bergaya I love you-an dengan anak-anaknya. Apalagi terutama orang tua saya.

Entah kenapa, sejak saya punya Hikari, gaya parenting saya berbeda jauh dengan gaya si Mami dan si Kumendan. Walau saya gak pernah(!) dengar orang tua saya ber-I love you-an dengan anak-anaknya, saya malah rajin dan murah mengumbar ‘I love you, Hikari!’ Sampai si Mami beberapa kali mendelik ke saya dan bilang saya lebay dan terlalu memanjakan.

Saya yakin sih rasa sayang para orang tua yang jarang atau malah tidak pernah bilang ‘Mama/Papa sayang kamu, Nak’ dengan rasa sayang para orang tua lebay seperti saya yang berada di level yang sama tingginya. Saya jadi teringat salah satu adegan di film Love Actually.
Seorang anak laki-laki dihukum menghadap kepala sekolahnya karena menulis ide yang nyeleneh soal kentut di acara Natal. Ibunya pun dipanggil. Bukan hanya anaknya yang diceramahi panjang soal kesopanan oleh kepala sekolah, ibunya juga kena diceramahi. Sang ibu lalu menarik anaknya keluar ruangan. Anaknya menunduk takut dimarahi lagi.
Ibunya bilang, “You know I have to love you because you are my son. But right now I love you even more because you are a genius! That story is so hilarious!

I have to love you because you are my son.
I have to love you because you are my son.
Buat saya, adegan itu terasa berbunyi: You know, kid, I have to love you because you are my child. So whatever mess you have done, I still love you. What you have to do now is to clean it up.
Kalau saya jadi anak, saya pasti akan lebih lega bila tahu bahwa orang tua saya tetap menyayangi saya walaupun saya baru saja melakukan kenakalan. I must clean the mess, yes. Still, my parents love me because they say so. Dan mungkin, mungkin, saat hubungan orangtua-anak sedang dalam kondisi titik terendah, mereka bisa ingat bahwa pada suatu masa telinga mereka tidak pernah absen mendengar kalimat ‘I love you.’

Siapa itu yang bilang love conquers everything?

Leave a Reply