Mana Pipi Kanan Lo?

Pintu ruang kelas musik Hikari sore tadi masih tertutup rapat. Kami datang lebih cepat dan siswa sebelumnya masih sibuk di dalam kelas. Hikari duduk termangu di sebelah saya. Seperti biasa kalau saya lihat Hikari bengong-bengong menggemaskan gitu rasanya saya pegin uyel-uyel dan cium-cium. Tidak peduli apakah dia sekarang lebih hitam, mulai bau asam, dan sering nolak kalau dipeluk dan dicium saya. Tadi saya pun kembali ke kebiasaan lama. Saya rangkul dia dari samping dan saya cium pipinya.
Hikari mendelik.
“Abis tampangmu menyedihkan gitu sih, Kak. Mamam jadi kepengin cium.”
“Mamam nih! Aku kan lagi bingung!”
Lalu keluar lah curahan hati Hikari.

Hikari cerita tentang seorang teman sekelasnya yang sejak kelas 1 SD memang selalu jadi biang sakit kepala sekolah. Anak ini sering mem-bully teman-temannya lewat kata-kata. Entah merendahkan temannya, mengata-katai, mengompori teman lain untuk bertengkar, dan semacamnya. Padahal anak ini badannya kecil dan kalau ditantang balik biasanya dia akan menangis. Beruntung Hikari dan anak ini sekolah di lingkungan sekolah yang tidak mentolerir bully.

Anak ini produk orang tua menikah sangat muda. Ayahnya entah di mana. Ayah tirinya baru saja meninggal dunia. Ibunya sama labilnya dengan anak 17 tahun. Dia sendiri diasuh oleh kakek neneknya. Dari segi materi, anak ini tidak kekurangan. Berlebih malah.
Seringkali orang tua lain dan murid lain mendapati anak ini harus dibujuk gurunya untuk mau keluar dari mobil. Atau disemangati teman-teman lain supaya mau bermain bersama. Seperti guci mahal, anak ini harus dijaga kondisi psikisnya setiap saat.

Balik ke Hikari, sebenarnya Hikari termasuk anak yang tidak pernah dikerjain teman-temannya. Bukan karena mereka takut dengan Hikari, tapi karena Hikari kan aneh sendiri maunya 🙂 Tapi sejak kelas 5 kemarin anak bully ini sepertinya mulai mencari-cari masalah dengan Hikari. Mulai dari mengejek sampai merendahkan karena, well, Hikari tidak sekaya dia yang punya gadget berderet. Mau main iPad aja Hikari harus pinjam Mamamnya 🙂 Awalnya Hikari sempat frustasi karena sering diejek. Dia menangis, malas sekolah, sampai bertengkar mulut. Masalah reda begitu guru kelas mereka turun tangan.
Sekarang di kelas 6, anak ini kembali pada kebiasaan lamanya. Sepertinya anak ini memutuskan untuk mulai mengganggu Hikari lagi.

“Aku sudah coba sabar, Mam.” Hikari takut disangka terlalu emosi. “Tapi dia terus mengejek.”
“Aku juga sudah coba menghindar. Aku tinggal pergi aja. Eh dia sengaja nyenggol-nyenggol aku kalau lagi jalan. Supaya aku jatuh, Mam.”
Pas di bagian ini saya sudah mendidih.
“Terus, apa yang kamu rasain?”
“Marah.”
“Terus kamu mau ngapain?”
Hikari diam.
“Kamu boleh loh marah ke dia, Kak.”
“Boleh?”
“Boleh banget. Kalau kamu diperlakukan jelek sama temanmu, kamu boleh marah.”
Hikari sepertinya berpikir keras.
“Kamu juga boleh memukul…”
Hikari melotot.
“Untuk membela diri…” Tambah saya.
Hikari menggeleng.
“Aku coba menghindar dulu deh, Mam. Kalau sudah gak tahan, aku bilang Pak Guru.”
Saya mikir.
“Tapi kamu boleh membela diri loh, Kak. Pakai karate kamu.”
“Enggak deh, Mam. Aku bersabar dulu.”
“Bagus itu”
Hikari mengangguk-angguk.
“Tapi kalau kamu memang harus mengeluarkan jurus-jurus karate, Mamam gak marah kok.”
Hikari memandangi saya.
“Jadi, dipakai aja ya jurus karatenya.”

#modusbanget

Leave a Reply