Seminggu lalu Hikari bilang ke saya, dengan sangat santai, kalau dia akan ikut lomba bercerita. Topiknya tentang keluarga, Ma, kata Hikari. Respon pertama saya langsung bertanya lomba apa. Dan, being Hikari, dia jawab gak tau. Karena saya pikir acara ini hanya lomba cerita di kelas, saya suruh dia untuk menuliskan draft. Being Hikari, again, dia cuma jawab oke oke.
Hari Jumat malam saya tanya tentang lomba yang saya pikir sudah berakhir. Dia bilang lombanya di sekolah hari Minggu. Minggu? Berarti bukan lomba kelas dong. Jadilah saya panik dicampur penasaran karena melihat si peserta lombanya cuek melebihi bebek. Waktu saya minta dia memperagakan ceritanya, dia mulai bercerita, sambil tangannya terus menggambar monster dan wajahnya konsen menatap buku gambar.
“Assalamualaikum. Nama saya Hikari. Saya akan bercerita tentang keluarga saya. Saya sangat mencintai keluarga saya. Ibu saya yang selalu mencintai saya sejak kecil dan ayah saya yang selalu bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga…”
Saya putar kepala Hikari sehingga menghadap saya.
“Stop!”
Hikari menaikkan sebelah alis matanya. Keahlian yang dia dapat dari keseringan melihat saya.
“Pertama, bukan hanya ayah yang mencari nafkah. Ibu,” saya menunjuk hidung sendiri, “juga!”
“Kedua, masa’ penjelasan tentang ibu hanya sedikit?!”
Hikari menarik napas lalu mulai cerita lagi. Kali ini gambarnya ditinggalkan.
“Saya akan bercerita tentang keluarga saya. Saya sangat mencintai keluarga saya. Ibu saya yang cantik yagn selalu mencintai saya dan ayah saya yang selalu bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga. Mmm… ibu saya juga bekerja mencari nafkah….”
Mendengar Hikari bercerita dengan nada flat, si Papap mulai gatel. Disuruhnya Hikari menggunakan gerak dan nada suara yang bervariasi. Awalnya Hikari masih mau mengikuti. Begitu instruksi si Papap mulai tambah banyak, Hikari mulai ngambek. Dia pun mogok cerita.
Minggu pagi Papap mengantar Hikari lebih dahulu. Satu jam kemudian baru saya dan Aiko berangkat ke sekolah bersama Papap. Di jalan, si Papap cerita pagi tadi dia tidak bertemu teman-teman Hikari ataupun orang tua mereka. Nah loh?
Sampai di sekolah, kami menemukan Hikari duduk sendirian di pojokan amphitheater sambil main PSP. Dan pengamatan Papap benar. Saya tidak mengenali satu pun orang tua atau anak-anak yang memenuhi sekolah Hikari. Ew-what?!
Rupanya hari itu ada acara seminar dua hari yang diadakan sebuah komunitas parenting. Selain seminar, mereka juga membuat lomba untuk anak-anak. Karena bukan acara sekolah, saya hanya lihat satu dua anak sekolah Hikari yang ikut lomba. Owkey. Jadi Hikari lomba -dengan persiapan pas-pasan itu- untuk berlomba melawan anak-anak sekolah lain? Ap-pah?! Kepanikan saya bukan cuma sampai di situ. Hikari ternyata belum mendaftar untuk lombanya! Setelah dia (akhirnya) bisa mendaftar, daftar kepanikan saya tambah lagi! Persiapan Hikari ternyata untuk Speech contest! Bukan untuk Storytelling! Ohmaigaaaad!
Setelah mendaftar dan mendapat nomor 6, Hikari duduk di sebelah saya di tangga batu amphitheater.
“Ternyata, yang aku hapal tadi malam itu namanya speech contest, Mam!”
Ow-key. Saya tarik napas. “Lalu?”
“Tapi, Mamam tenang aja. Aku sudah punya cerita kok.”
“Mana?”
Hikari menunjuk kepalanya. “Di sini. Aku sudah ingat.”
Owwww-key.
“Tapi aku mau minta maaf dulu.”
“Kenapa?”
“Aku akan menggunakan kata-kata kasar.”
“Seperti apa?”
“Bodoh….?”
Ow-keeeeeeeeeey.
Saat itu rasanya saya ingin meminta Hikari berlatih di depan saya. Tapi saya tahan-tahan rasa gatel, gemas, panik itu sambil berpikir anak laki-laki saya itu sudah berani mau ikut lomba dengan persiapan dadakan dan tanpa teman-temannya ikut lomba atau ikut menyemangati! Si Papap yang matanya sudah hampir mencelat keluar saya balik pelototin. Sudah lah. Toh kami juga tidak mengejar juara atau piala! Walaupun jujur aja, saya kuatir tentang isi cerita (plus kata-kata kasar, katanya). Jangan-jangan penonton berpikir kami yang mengajarinya begitu! Saya pasrah saja lah apabila ceritanya tidak ‘politically-socially correct’. Jadi saya putuskan untuk membiarkan saja Hikari menikmati prosesnya.
Akhirnya nama Hikari dipanggil. Begitu dia maju ke panggung, saya langsung meringsek ke depan panggung untuk merekam cerita yang saya sendiri tidak tahu isinya. Ternyata….. Hikari bercerita tentang seorang anak yang ingin dimandikan ibunya. Pernah baca ceritanya? Cerita aslinya di sini. Hikari menceritakan versinya. Dengan nada yang naik turun, dengan emosi, dan dengan kata-kata kasarnya! Rasanya antara ingin terus merekam dan ingin ngumpetin kepala di karung. Kepala-kepala penonton yang kebanyakan orang tua mulai mencari-cari siapa orang tua dari anak tanggung yang sedang bercerita di panggung. Si Papap dengan canggihnya pura-pura main dengan Aiko di……belakaaaaang amphitheater!
Setelah Hikari selesai bercerita, ada jeda sebentar sebelum penonton dan MC bertepuk tangan. Sepertinya mereka bingung antara terharu atau syok dengan cerita Hikari. Sementara saya merasa emosi antara terharu dan ingin teriak ‘Hadooooh Hikari ceritanyaaaaaa!’ Hikari sendiri terlihat biasa saja. Dia malah tidak mau menunggu pengumuman pemenang dan langsung minta pulang untuk makan 🙁
Hari Senin sore Hikari pulang sekolah dengan tas ransel yang menggembung.
“Apa itu?” tanya saya.
“Piala.”
“Piala lomba kemarin?!” Saya teriak.
“Iya.”
“Kamu menang?”
“Cuma juara dua kok, Mam.” Lalu Hikari ngeloyor pergi.
Saya tersenyum lebar.
Ingin lihat Hikari bercerita? Cek di sini ya.