Sudah beberapa hari ini salah satu tanaman Anggrek saya berbunga. Bukan cuma satu. Ada sepuluh kepala bunga di satu tangkai itu! Kata Papap mirip seperti tangkai Anggrek yang dijual tukang bunga #kode.
Mekarnya Anggrek ungu ini juga membuat saya ingat masa kinuiz-kinyis saat baru lulus SMA dan ikutan ospek di kampus. Hari itu saya harus sampai di kampus sebelum matahari terbit sambil membawa ini itu dan salah satunya bunga Anggrek warna ungu. Peraturan lainnya adalah mahasiswa baru tidak boleh diantar kendaraan apapun! Harus naik angkot! Macam mana pula saya naik angkot dari Halim ke Depok dan harus sampai Depok jam 5:30 pagi?!
Si Kumendan, bapak saya itu, bergeming waktu saya merengek mau berangkat sendiri. Si Kumendan malah menyuruh supirnya untuk mengantar saya ke kampus dengan mobil hijaunya.
Pagi buta itu saat mobil bapak saya mendekati pintu gerbang kampus, saya lihat kakak-kakak senior sudah siap-siap berjaga sambil tolak pinggang. Jarak beberapa ratus meter saya mengkeret di dalam mobil sambil minta supir Kumendan menurunkan saya di pinggir jalan. Mas Supir gak mau. Bukannya melambatkan jalan mobil, dia malah tancap gas. Sebelumnya di dekat para senior saya, Mas Supir tidak lupa membuka jendela mobil sambil melototin satu-satu senior yang sedang melototin saya balik. “Kalau ada yang berani marahin Mbak’e, kasih tau orangnya ke saya, Mbak!” Pesan dia. Great toh? Anak baru bertingkah.
Mendekati gedung fakultas, saya baru sadar sesuatu. Saya lupa membawa bunga Anggrek ungu peer ospek hari itu! Rasanya pengin nangis dan balik pulang! Sudah lah ditandai ngelawan aturan antar jemput, gak bawa sajen pulak?! Saya turun dari mobil dengan tingkat kepasrahan yang gak pernah saya punya sebelumnya. Senior di fakultas saya itu banyak ceweknya. Jadi bayangkan mengerikannya hukuman saya nanti! Tapi sekali lagi Mas Supir jadi pemberi solusi. Dia samperin seorang mahasiswa baru yang sedang memegang setangkai bunga Anggrek ungu dengan banyak kuntum. Persis Anggrek di kebun saya ini. Lalu Mas Supir minta satu kuntum Anggrek ungu itu dan memberikannya kepada saya. Satu kuntum!
“Buat apa, Mas?” Tanya saya bingung.
“Tugasnya kan Mbak disuruh bawa bunga Anggrek. Gak dibilangin berapa banyak toh?”
Pagi itu saat kami semua dijemur di lapangan, pundak saya di tepuk senior dan disuruh maju. Itu kode sebelum anak baru menerima hukuman. Seorang senior cewek yang terkenal dengan jeritannya muncul di depan muka saya. Dia mengambil napas panjang. Lalu…
“Kamu bawa APA INI, hah?! Mana tugas kamu, HAH?!”
Pelan-pelan saya membalas tatapan galaknya. “Kan kami disuruh bawa bunga Anggrek. Ini kan bunga Anggrek, Kak.”
Senior perempuan itu menatap bolak-balik ke saya lalu ke sekuntum bunga Anggrek ungu kecil di tangan saya. Kelihatannya dia mau nelen saya bulat-bulat. Seorang senior cewek lainnya datang.
“Kamu cuma bawa segini?!”
“Kemarin gak dibilangin harus berapa banyak kan, Kak?”
Sekarang ada dua orang yang ingin nelen saya bulat-bulat.
Hari itu saya selamat dari hukuman keji ospek. Tapi untuk menjaga imej para senior, saya disuruh balik ke barisan dengan lompat-lompat model pocong sambil membawa kuntum bunga di dada dan berteriak, “sekuntum bunga Anggrek. Sekuntum bunga Anggrek. Sekuntum bunga Anggrek…”
Okelah. I could live with that.