Hari ini hari terakhir saya di Purwokerto. Kota yang baru kali ini saya kunjungi. And I loved the city from the first time I got off the train. Bersih, teratur, adem, sepi, sepi, sepi. Saya langsung betah.
Setelah menghabiskan waktu sesorean dengan kriyep-kriyep sendirian di kasur hotel, malam pertama itu saya putuskan untuk jalan kaki kelayapan sendirian. Jam 7 malam setelah mandi cantik saya keluar. Niat cari makan dan cari minimarket. Minimarket saya temukan kira-kira setelah 1 km berjalan. Udara malam itu enak jadi jalan pun nyaman. Trotoarnya nyaman dan bersih. Jalanannya yang lebar sepi. Dengan happy saya menyusuri jalanan raya sembari tebar senyum ramah pada beberapa bapak, bapak-bapak, bapak lagi, bapak-bapak lagi yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Pulang dari minimarket, saya mampir restoran bebek. Keanehan baru saya rasakan. Ke mana saya pergi saya merasakan pandangan ingin tahu orang-orang yang saya temui.
Selesai makan, saya balik jalan 1km lagi. Kali ini sambil kekenyangan dan siul-siul kecil. Saya pura-pura tidak lihat orang-orang, ehm, laki-laki yang kepalanya sampai menoleh mengikuti saya berjalan. Mungkin malam itu saya kece banget 🙂 Begitu sampai di gerbang hotel, seorang satpam menyapa ramah. “Mbak, dari mana? Jalan? Owalah Mbak. Kalau mau ke luar beri tahu kami saja. Nanti kami antar.”
Besoknya saya barulah diberi tahu trainees saya kalau di kota ini tidak biasa perempuan kelayapan JALAN KAKI sendirian MALAM-MALAM. LOL. Rupanya bukan karena saya kece.
Makan malam itu adalah makan pertama dari makan-makan saya berikutnya yang berisi entah ayam goreng cabe ijo atau bebek goreng cabe ijo. Tiap siang dan malam saya disodori entah ayam atau bebek. Jadi, setiap kotak makan saya datang saya akan tersenyum manis sambil mikir, “ayam atau bebek hayooo?” Sekali lagi saya mendapat konfirmasi dari supir kantor yang saya datangi bahwa kota ini ramai dengan resto ayam dan bebek. Saya akan puasa ber-ayam bebek di Jakarta selama sebulan. No. Setahun.
Akibat bosan dengan ayam dan bebek sekali lagi pada satu malam saya kelayapan ke ujung berbeda kota ini untuk mencari menu sesederhana mie bakso. Jalan kaki. Saya lalu menemukan resto kecil berjudul Hero yang di menunya menyajikan nasi goreng, mie, jus, dan semacamnya. Dengan gembira saya masuk ke resto kecil itu. Perasaan bahagia saya ternyata tak bersambut gayung. Si ibu pemilik resto malah menatap saya heran dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Pesan mie rebus ya, Bu.”
“Pedas?”
“Enggak.”
“Sama sekali?”
“Iya.”
“Ndak pakai satu dua cabe?”
“Ndak, Bu.”
“Sama sekali ndak terasa pedas sedikit?”
“Mmmm.”
“Satu cabe saja?”
“Sebenernyaaa…”
“Dua juga belum pedas kok.”
Ah ya sudah lah!
Lalu saya pesan minum.
“Ada jus apa, Bu?”
“Maunya apa?”
“Alpukat?”
“Lagi ndak musim.”
“Mangga?”
“Kosong, mbak.”
“Adanya apa?”
“Mbaknya mau apa?”
Ohmaigad. “Jeruk?”
“Es jeruk?”
“Bukan. Jus.”
Si ibu bengong.
“Jus jambu?”
“Oh ada. Sebentar ya.”
Dua puluh menit kemudian.
“Ini jus jambunya, mbak. Habiskan ya.”
“He?”
“Sayang kan saya sudah buat jus kalau tidak dihabiskan.”
*saya ketawa ngakak sambil ngumpet-ngumpet*
This trip is really nice 🙂
Kemarin, malam terakhir saya kelayapan sendirian di jalanan Purwokerto setelah berhasil menghindari tatapan cemas para satpam hotel. Purwokerto jam 8 malam Jumat masih sama sepinya dan ini tidak ada hubungannya dengan malam Jumat. Kali ini saya berhasil menemukan tukang burger untuk makan malam. Maksud saya burgernya, bukan tukangnya. Di tengah jalan kaki saya, saya melewati beberapa laki-laki entah pemilik kios rokok atau tukang becak. Seandainya saya di Jakarta, saya akan lewat seperti angin. Tanpa sepatah kata pun. Di kota ini saya melambatkan jalan dan tersenyum ramah.
“Permisi, Bapak.”
“Monggooo, Mbak. Jalan hati-hati, mbak’e.”
Dan saya tersenyum bahagia setiap kali mendengar salam ramah dan senyum tulus penduduk kota kecil ini.
I will be back. Please don’t change.
Posted with WordPress for BlackBerry.