Kelas Inspirasi II: Membayar Kembali

Tahun lalu seorang teman di kantor bertanya pada saya.
“Elo gak ikutan Kelas Inspirasi? Kok?”
Saya menggeleng lalu hanya memperhatikan teman ini bersibuk-sibuk mempersiapkan dirinya untuk kelas yang akan ia ajar di sebuah SD di daerah Jakarta Timur.
Saya lupa kenapa tahun lalu saya tidak mendaftar tapi saya ingat perasaan sedih karena hanya bisa mendengarkan teman saya ini bercerita ramai tentang briefingnya, observasinya, mengajarnya.

20130222-032130.jpg
Akhir tahun lalu, teman yang sama mengingatkan saya. Dia bahkan mengirimkan link Kelas Inspirasi II untuk saya. Dan saya ingat di malam-malam buta, di tengah tenggat tulisan, dan kehebohan dunia yang tidak penting, saya menulis esai pendek kenapa saya ingin menjadi bagian dari Kelas Inspirasi II. Email saya diterima di KI II di akhir bulan Januari dari panitia KI II membuat saya lupa akan migren yang sudah beberapa hari memporak-porandakan dunia saya.

Ada satu pertanyaan di form pendaftaran KI II yang saya ingat sampai sekarang. Bunyinya kira-kira “bagaimana kamu akan menginspirasi anak-anak sekolah yang akan kamu ajar?” Saya malah berpikir terbalik. Saya yakin saya lah yang akan terinspirasi dengan anak-anak ini!

Briefing di tanggal 9 Februari adalah pertama kalinya dalam hidup saya memperkenalkan diri saya sebagai Penulis. Bukan sebagai Guru. Atau (mantan) Pemred. Atau Praktisi Pendidikan. Hari itu buat saya seperti bab pertama dari sebuah buku berjudul ‘Profesi: Penulis’. Dan di ruangan yang dipenuhi 700an orang itu, saya bertemu ratusan profesional lain yang tidak saling mengenal tapi punya satu tekad: menginspirasi anak-anak pewaris bangsa ini untuk mau menggantungkan cita-cita mereka setinggi langit. Maka ketika waktunya kami bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya harus berkali-kali terdiam supaya tidak menangis haru. Oh ya, believe me, it was that deep!

Acara Briefing diisi Pak Anies Baswedan dengan memberi wejangan kepada para relawan.
“Biar lah orang-orang di luar sana sibuk bicara tentang ini itu soal pendidikan. Di sini kita berbuat!’
“Semua orang disini memberi, bukan meminta!”
“Pendidikan adalah tanggung jawab kolosal!”
“Kita sudah merasakan manfaat kemerdekaan. And now we are paying back!”

Oh yes, I can’t agree more! Pendidikan adalah tanggung jawab kolosal karena kegagalan atau kesuksesan pendidikan dirasakan oleh semua orang di negara ini. Dan secara pribadi saya setuju bahwa kita berada di titik sekarang ini dalam hidup kita karena orang-orang di sekitar kita, orang-orang yang kita temui di dalam hidup kita, masyarakat, mengantar kita ke titik ini. Jadi, sudah sepantasnya memang kita membayar apa yang sudah diberikan kepada kita.

Lalu kenapa Kelas Inspirasi menjadi tempat saya membayar kepada masyarakat? Think big, start small, act now. Itu kata-kata Pak Anies. Menurut anda ada di tangan siapa nasib kita di masa depan? Nasib saya, nasib anda, nasib negara ini ada di tangan anak-anak berseragam putih merah yang ada di dalam kelas-kelas di seluruh sekolah di seantero negeri. Bagaimana kita bisa menjadi bangsa yang hebat bila anak-anak itu tidak bisa bercita-cita? Bila anak-anak itu tidak diperlihatkan ada dunia lain yang bisa mereka raih di luar dunia orang tua dan sekeliling mereka?
Berbagi cerita mengenai profesi saya dalam waktu 6 jam saja memang hal yang kecil. Tapi saya berharap dalam waktu 6 jam, anak-anak yang mendengarkan saya dan teman-teman relawan lain berbicara mengenai pekerjaan kami bisa terinspirasi untuk mencari cita-cita mereka. Bahwa dengan sedikit kerja keras, ketekunan, kejujuran, dan mimpi, mereka bisa menjadi apapun yang mereka mau. Seperti kami.

Ketika anak-anak bebas bermimpi, ketika mereka bisa mempunyai cita-cita, maka mereka akan merdeka. Dan kita akan merdeka. Itu pendapat saya.

Leave a Reply