Ikhlas

Beberapa hari yang lalu teman makan siang saya nyamperin saya dengan bersungut-sungut.
“Kantor kosong,” katanya.
“Kok bisa?” tanya saya.
“Mereka pergi ke Dieng.”

Rupa-rupanya, pagi itu teman saya mendapati departemennya kosong karena teman-teman perempuannya tidak ada yang masuk, kecuali satu orang. Ketika ditanya kemana yang lain, orang ini menjawab tidak tahu.
“Dia bohong,” kata teman saya bertambah manyunnya.
“Anak-anak ke Dieng dan gue enggak diajak.”
Kasian.
“Kok elu tau mereka ke Dieng?”
“Ada anak departemen lain yang keceplosan ngomong.” Muka teman saya ini semakin tinggi derajat kemanyunannya.
“Kok bisa elu enggak diajak? Bukannya elu satu grup whatsapp sama mereka?”
“Mereka…punya…grup…whatsapp…sendiriiiii…..”

Singkat cerita ini soal likes and dislikes. Jangan salah kira. Teman saya ini baik hati dan tidak sombong. Jadi bisa bayangkan syoknya dia ditinggal pergi teman-teman seruangannya sembari dibohongi. Kenapa sampai dia bisa enggak diajak? Apalagi sampai dia bisa enggak diikutkan ke grup whatsapp yang sama? Jawaban itu kami dapati setelah malamnya si teman nebeng mobil saya. Di jalan kami diberi pencerahan oleh Gde Prama lewat suaranya di radio.

Harus ada orang jelek, supaya seseorang bisa dibilang cantik. Harus ada orang jahat, supaya seseorang bisa dibilang baik.

“Tuh dengerin. Harus ada orang enggak waras dan enggak tau etika supaya elu bisa dibilang waras dan beretika,” kata saya ke teman ini.
“Iya ya. Jadi gue harus ikhlas ya?”
“Iyaaaa. Ikhlas. Santai ajaaa…”
“Gak boleh didoain dapat balasan ya?”
“Nggaaak. Nggaak boleh!”
“Yadeh.”

Dua hari kemudian teman-temannya masuk kembali ke kantor dengan muka pucat, badan demam, dan penampakan menyedihkan. Mereka sakit semua tapi tidak bisa ijin cuti karena pekerjaan menumpuk.

“Elu nyumpahin mereka ya?” tuduh saya.
“Enggaak!” kata teman saya sambil buang muka.
“Jujur lu!”
“Enggak!”
“Pasti elu sumpahin!”
“Enggak!”
“Pasti…”
“Enggak…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *