Sudah dua kali Lebaran si Mami tiba-tiba punya ide untuk menghadiahi saya baju Lebaran. Harusnya kan saya senang dong? Di situ masalahnya! Saya dan si Mami agak enggak kompak soal beberapa hal, misalnya model rambut, film favorit, warna kesukaan, hobi, buku bacaan, makanan favorit, tanaman kesukaan, ini, itu, ini, itu… sampai standar ganteng seorang laki-laki. Model baju adalah salah satu hal mendasar mengapa saya bersyukur satu-satunya foto keluarga resmi yang kami miliki adalah saat saya menikah. Jadi si Mami enggak bisa maksa pilihin baju buat saya hehehe…
Tahun lalu saya dibuat tidak berkutik ketika si Mami tiba-tiba membawakan dua buah baju hamil buat saya. Modelnya? Semacam dress panjang motif bunga-bunga penuh gitu. Saya bukan hanya syok tapi juga kepengin nangis jerit-jerit lihat baju-baju hamil itu. Mami rupanya lupa jaman. Syukur Alhamdulillah kedua baju itu kebesaran, sodara-sodara!
Lebaran tahun lalu juga si Mami datang dengan gaun tunik tebal hadiah untuk saya. Walau syok, saya masih pakai baju itu di hari Lebaran karena warnanya abu-abu tidak menyolok. Apa yang terjadi? Begitu saya sampai di rumah si Mami, si Kumendan melotot sampai hampir mencelat keluar bola matanya. Setelah itu dia ketawa ngakak sengakak-ngakaknya. Kata Kumendan, “Kamu pakai baju apaan, De?” lalu meneruskan ketawanya. Saya dan si Papap saling lirik. Di belakang Kumendan, si Mami melotot dengan wajah merah padam. Saya pun berbisik, “ssst, ini Mami yang beliin…”
Sepertinya si Kumendan tidak mendapatkan maaf lahir batin dari si Mami di Lebaran itu.
Tahun ini, saya menemukan bungkusan plastik berlogo sebuah butik di kamar saat saya pulang kantor. Saya sudah berseri-seri geer.
“Pap, bungkusan apa niiiiiiy? Buat aku Lebaran yaaaa?” tanya saya dengan agak-agak lenje gituh.
Si Papap malah mengerutkan jidatnya. “Bungkusan? Bungkusan apaan?”
Jantung saya pun turun ke kaki. Kalau bukan si Papap, pasti…..
Dengan ciut saya buka bungkusan itu dan jreeeeeeeng…. keluar lah dua helai baju panjang berkilat-kilat berwarna merah dan emas.
“Huaaaaaaaa…….!!!”
“Heh? Kenapa? Kenapa?”
“Iniiiiiiii…” Jeritan saya makin histeris.
Begitu Papap melihat kaftan emas di tangan saya, dia langsung ngakak sejadi-jadinya. Kaftan baru itu pun mendapatkan fungsi pertamanya: buat ngelempar Papap.
Hari-hari menjelang Lebaran membuat saya stres. Mengaku saya tidak suka dan tidak sudi memakai baju ala Syahrini kepada si Mami hanya akan membuat saya jadi anak durhaka yang akan di-bully di acara keluarga besar si Mami. Tapi kalau tidak mengaku, itu artinya saya terpaksa memakai si kaftan blink blink di hari pertama Lebaran. Bukan hanya gerah dan repot luar biasa, tapi saya sudah kebayang bermacam-macam ledekan dari para tante dan om saya. Saya dan Syahrini itu benar-benar enggak se-tipe. Akhirnya Twitter jadi tempat saya curhat. Bukannya dikasih solusi, saya malah disuruh foto pakai kaftan itu supaya enggak disangka hoax. Beuuuh! Tapi serius. Saya benar-benar stres memikirkan mau diapain itu kaftan. Sumpah saya enggak sudi pakai kaftan itu yang kata si Mami kaftan model terbaru dari India. Sepertinya si Papap merasakan stresnya saya. Dia sampai ikut memikirkan cara memodifikasi si kaftan. Salah satunya dengan memotong pendek gaun itu selutut supaya kelihatan seperti baby doll. Duh!
Seminggu sebelum Lebaran, rupanya Tuhan mendengar doa galau kaftan saya. Tiba-tiba, tanpa gejala-gejala sebelumnya, saya ambruk di kantor. Pagi itu saya ke kantor masih gagah perkasa tanpa merasa sakit sedikit pun. Tapi semakin siang, seluruh badan saya semakin nyeri. Hari berikutnya, saya paksa bersiap-siap ke kantor. Saya tidak bisa tidak masuk. Hari-hari menjelang libur Lebaran adalah hari-hari sibuk. Dengan gemetar menahan nyeri dari kepala sampai ujung jempol kaki, saya ambil kunci mobil. Tapi tempat terjauh yang bisa saya capai hanya garasi. Akhirnya hari itu bukannya ke kantor saya malah dilarikan ke UGD oleh adik saya. Di UGD, dokter langsung pasang infus melihat saya cuma bisa terkapar. Diagnosanya jelas, sejelas hasil lab: tipus. Instruksinya jelas: opname. Saya menolak. Pembantu pulang kampung besok lusa mana bisa saya opname. Gimana nasib Hikari dan baby Aiko. Saya pun memaksa pulang walau artinya harus tanda tangan resiko tanggung sendiri. Si dokter memandangi saya antara kesal dengan kasihan. Akhirnya dia cuma bisa bilang, “saya doakan segera membaik ya, Bu. Doa di bulan puasa kan katanya makbul.”
Sialan.
Hari itu saya pulang dengan segepok obat. Rejeki saya, malamnya saya keracunan antibiotik. Ruapanya obat itu terlalu keras sampai membuat sekujur tubuh saya bentol dan panas. Antibiotik berhenti. Besok paginya saya terkapar di kamar. Tidak bisa bangun sama sekali. Boro-boro mau makan, membuka mata saja sudah terasa melayang mau pingsan. Setelah khatam tipes berkali-kali, saya bisa bilang kali ini si Salmonella benar-benar kurang ajar belagunya! Tapi setelah mikir panjang saya baru sadar. Sepertinya Salmonella ini jawaban kegalauan saya yang didengar Tuhan. Lebaran kemarin ini saya berhasil tidak pakai kaftan hadiah si Mami.
Belum selesai urusan kaftan di Lebaran ini. Saat saya dan si Mami datang ke rumah mertua aka maminya si Papap, si Mami memakai kaftan yang rupanya kembaran dengan punya saya, hanya beda di motif saja. Punya si Mami bunga-bunga, punya saya enggak jelas motifnya. Dengan alasan sedang sakit dan berkeringat terus, saya dimaafkan si Mami karena tidak memakai kaftan hadiahnya. Tapi, sepanjang jalan si Mami rajin mengingatkan betapa dia ingin tampil kembar dengan saya. Untung jalanan lancar jadi kami bisa cepat sampai ke rumah keluarga Papap. Begitu pintu rumah mertua dibuka, mama mertua saya berdiri cantik di depan pintu menyambut kami dengan memakai…kaftan bunga-bunga sewarna dengan kaftan yang dipakai Mami…