Sebelum Kita ber-Wild Wild West

Sudah pernah ke atraksi Cowboy Wild Wild West di Taman Safari Indonesia Cisarua?

Saya baru sekali. Kemarin. Hari Minggu itu sudah beranjak agak sore saat Papap membujuk kami -saya, Hikari, baby Aiko, adik saya, dan si mbak- untuk bertahan sebentar lagi di Taman Safari demi menonton pertunjukan Wild Wild West. Kami semua sudah begitu capek dan ide untuk menonton atraksi semacam sirkus dengan tema koboi yang diperankan oleh orang Indonesia agak kurang menarik buat saya dan rombongan. Tapi kegigihan Papap dalam membujuk dan memelas memang akhirnya menang. “Kata temanku bagus banget loh, Mam.” adalah kalimat iklan si Papap. Baiklaaaaah. Kami pun berhasil digiring menuju arena besar dengan bangku-bangku panjang berwarna hijau oleh si Papap mengikuti arus ratusan orang lainnya yang berjalan kesana.We were in time. Begitu pantat berhasil mendarat di bangku panjang dari kayu itu pertunjukan dibuka. Seorang aktor berpakaian koboi mulai cuap-cuap membuka acara menggunakan bahasa Indonesia dan (sepertinya) bahasa Inggris. Aktor tersebut mulai menceritakan dengan singkat jalan cerita yang akan kami tonton. Singkatnya, kami ada di suatu daerah West yang Wild karena para bandit masih merajalela merampok dan bersenang-senang di sana. Untungnya ada sherif yang akan jadi pahlawan nantinya. So, jangan kuatir. Endingnya bakalan Happily Ever After deh.

Sceptical as I had always been, sinopsis itu tidak membuat saya makin kepengen nonton. Yah, cerita klasik. Bandit jahat, korban berjatuhan, jagoan datang, jagoan kalah duluan, jagoan menang belakangan, semua orang hidup bahagia. Tapi saya salah. Adegan dibuka dengan keren oleh tiga bandit yang menunggang kuda gagah dengan gagah (!). Mereka menawan seorang perempuan Indian yang menjerit-jerit ketakutan. Para bandit itu rupanya habis merampok ternak domba. Dengan kerennya mereka berhasil menggiring para domba ke dalam kandang dan menyuruh kuda-kuda mereka untuk balik ke balik panggung. Keren. Sampai akhir cerita, penonton akan disuguhi jalan cerita yang walaupun ‘klasik’ tapi solid, performance para aktor yang juga solid baik dari segi akting maupun ketrampilan berakrobat, efek-efek panggung yang heboh seperti dinamit yang benar-benar bisa meledak dan mengeluarkan api yang hawa panasnya sampai ke penonton, dan terutama adalah ketrampilan para pemain untuk mengendalikan hewan-hewan yang ikut bermain. Anjing yang bisa menggiring ternak, tikus putih yang bisa diajarkan lari kemana, kucing yang bisa berakting, kuda-kuda yang sumpah keren, dan terutama burung pemakan bangkai yang bisa dipanggil oleh si aktor.

Keren? Banget!
Saya suka? Tidak.

Mau tahu kenapa?
Karena tontonan ini BUKAN untuk anak-anak!

Call me a spoilsport, I don’t mind. Tapi bagaimana saya harus menjelaskan kepada seorang anak laki yang belum lagi sepuluh tahun usianya yang duduk di sebelah saya bahwa bandit yang mencoba/memaksa mencium gadis Indian di depan sana hanya berakting? Bagaimana saya menjelaskan bahwa para bandit yang tertawa-tawa keluar dari bar memegang sebotol minuman berakohol sambil memeluk perempuan-perempuan berpakaian bling bling pendek itu adalah contoh yang tidak boleh ditiru? Bagaimana dengan saat para bandit berusaha berinteraksi dengan penonton dengan cara meminta penonton ikut memukul deputy sherif? Atau ketika bagian depan bar runtuh setelah dilempar dinamit oleh bandit lalu di lantai atas muncul perempuan berlilitkan handuk yang menjerit-jerit karena dinding kamar mandinya runtuh saat dia sedang mandi? Tolong kasih tau saya gimana caranya saya menjelaskan kepada anak laki yang wajahnya menegang setiap kali mendengar jeritan gadis Indian yang berkali-kali tertangkap lalu ditarik-tarik bandit ke dalam bar -entah untuk diapakan- kalau adegan itu hanya akting dan jeritan itu juga akting?

Sudah kepalang basah kami tidak bisa keluar dari situ maka kami harus menonton pertunjukkan yang berdurasi sejam itu. Sambil memutar otak bagaimana saya harus menjelaskan tontonan tersebut kepada Hikari nantinya, saya melotot kepada Papap yang juga jadi salah tingkah karena tidak tahu ada adegan-adegan tersebut. Mata saya mengamati ke sekeliling. Bukan hanya Hikari yang pucat pasi dan tegang saat mendengar jeritan-jeritan korban perempuan. Hampir semua anak usia SD yang bisa saya lihat juga merasakan itu. Dan ketika para orang dewasa tertawa terbahak-bahak melihat penonton -ibu-ibu- ikut diajak memukul deputy sherif, anak-anak memandang dengan penuh keingin tahuan. Jadi, kalau ada orang yang memukul orang lain, boleh ditertawakan?

Atraksi berakhir dengan pembawa acara memberi pesan-pesan bagi anak-anak untuk tidak mencontoh perilaku para bandit. Too late for that, honestly. Kenapa hal itu tidak disampaikan di awal atraksi?

Jujur menurut saya atraksi ini spektakuler! Tapi sebagai ibu, saya terpaksa mem-black list atraksi ini dari tontonan keluarga. Sebagai ibu, saya juga merasa kecolongan. Atraksi ini ada di Taman Safari yang jelas-jelas konsumennya adalah anak kecil. Tidak adanya keterangan seperti pada acara-acara tivi bahwa tontonan ini butuh Parental Guidance membuat saya semakin merasa tertipu. Saya tahu banyak orang tua yang mungkin tidak keberatan anak-anaknya menonton adegan-adegan seperti itu. Tapi menurut saya pihak pengelola wajib memberi penjelasan kepada calon penonton age appropriateness acara ini. Dengan begitu penonton orang tua bisa memutuskan SEBELUM menonton apakah acara ini boleh ditonton anaknya atau tidak. Bukan kebiasaan orang tua di Indonesia untuk berdiskusi atas suatu acara atau tontonan kepada anak-anaknya. Dan itu yang mengkhawatirkan saya. Di rumah saya mengajarkan anak untuk memperlakukan perempuan dengan hormat. Di tempat ini dia belajar sebaliknya dalam bentuk akting yang belum dia mengerti nyata atau tidaknya. Coba yakinkan saya bagaimana caranya supaya saya tidak sakit hati?

Seandainya pihak Taman Safari Cisarua mau mengganti adegan-adegan yang tidak pantas untuk anak, saya akan kembali menonton acara spektakuler itu. Tapi sebelum itu terjadi, mereka kehilangan saya sebagai konsumen.

Leave a Reply