Ketika telpon pintar itu tak ada…

Hari ini saya melakukan dua hal yang jarang sekali saya lakukan. Hal pertama adalah naik angkot ke kantor dan hal yang kedua adalah meninggalkan hape di rumah.

Yaaaa… kalian-kalian bisa bilang apa istimewanya kedua hal itu? Buat saya, pergi ke kantor naik angkot itu istimewa karena pertama rumah saya jauuuuuuuuuuuuuuuuuh banget dari kantor melalui 3 provinsi (agak lebay tapi fakta) dan harus berganti-ganti moda transportasi dari ojek, minibis, busway, jalan kaki, atau bajaj. Kalau mau naik taksi, harus dihitung-hitung dengan cermat di kilometer ke berapa saya boleh naik taksi supaya tidak membuat kantong si Papap jebol. Eh.

Dengan jarak yang jauh itu, naik angkot pun akan terasa seperti pesiar minus rasa bahagia. Persoalan yang paling krusial (*batuk*) di angkot adalah bagaimana bisa selamat sampai di tujuan tanpa mati gaya karena kelamaan duduk atau mati kebanyakan basa-basi karena diajak ngobrol orang sebelah. Iyak, saya ini bukan jenis orang yang gampang ngobrol di angkot makanya saya kagum dengan orang-orang yang pada saat perjalanan berakhir bisa bertukar cerita hidup dengan teman angkotnya. Biasanya, untuk menghindari mati gaya di angkot ini saya mengeluarkan hape dan main twitter, fesbuk, atau baca berita online. Selamat sampai di tujuan.

Tapi hari ini saya benar-benar mati gaya di angkot. Hape saya ketinggalan di rumah! Kalau derajat lupa ninggalin hape si Papap itu 1 hari banding 3 hari, maka derajat lupa saya 1 hari banding 300 hari! Jadi, kejadian hape ketinggalan itu harus dirayakan dengan nangis darah.

Karena ketiadaan hape, duduk manyun lah saya di kursi angkot bersama 23 penumpang lainnya. Belum juga dua kilometer angkot itu jalan, pertanyaan pertama buat saya sudah terucap dari ibu-ibu di sebelah.
“Kerja, mbak?”
“Iya.”
“Siang berangkatnya?”
“Iya.”
“Kerjanya siang?”
“Iya.”
“Sampai malam?”
“Iya.”
“Kerjanya di mana?”
“Iya.”
“Apa, mbak?”
“Iya.”
Si ibu itu jidatnya berkerut. Tapi dia belum menyerah.
“Panas banget hari ini.”
“Iya.”
“Udah lama gak hujan ya.”
“Iya.”
“Di tempat mbak juga gak hujan?”
“Iya.”
“Hujan?”
“Iya.”
“Di tempat saya gak hujan.”
“Iya.”
Jidat si ibu berkerut lagi. Sebelum jidatnya licin lagi, saya pura-pura menguap dan memejamkan mata sambil noleh ke arah lain.
“Mbak, mbak!”
Astagaaaaaaaa, saya hampir kesal. Masih pengen ngobrol lagi?!”
“Iya?” tanya saya.
“Bayar ongkosnya dulu. Takutnya ketiduran.”
“Iyaaaaaaaaaa!”

Apa? Saya jahat? Iya, saya tahu saya bakal dibilang jahat kalau saya begitu seperti di atas itu. Makanya setiap kali saya naik angkot, saya selalu pasang masker rumah sakit sepanjang jalan dan…pura-pura tidur supaya kejadian di atas cuma ada di imajinasi saya aja 🙂

Setelah sampai di UKI dengan selamat tanpa pertanyaan macam-macam dari teman seangkot saya, saya memutuskan untuk naik taksi sampai kantor. Panas. Takut luntur kulit hitam saya. Di taksi, saya kembali bengong. Anda bisa tanya ke supir taksi manapun, saya jenis penumpang yang jarang banget ngajak dan diajak ngobrol. Thanks to the phone. Tapi hari ini saya gak punya hape untuk diajak sibuk. Saya cuma bisa bengong menatap jalanan macet di luar.

Beberapa ratus meter di depan pintu tol, supir taksi yang saya tumpangi bertanya apakah kami akan lewat tol atau jalan biasa. Tumben. Biasanya kalau penumpang diam saja, si supir akan berasumsi kami akan lewat jalan biasa. Mungkin karena macet di pagi menjelang siang tadi.
“Naik tol aja, Pak.”
Pak supir menghembuskan napas lega. Spotan. Karena habis itu dia kelihatan nyengir malu-malu.
“Sudah jam segini masih macet aja nih, Mbak,” keluh si supir.
“Iya.” (beneran ini saya jawab iya dengan sopan)
“Bensin kebuang-buang begini kan pemborosan ya, mbak?”
“I…ya…”
“Kayak gini kok mau nyalonin diri lagi!” Si supir ngedumel.
“Siapa yang mau nyalonin diri, Pak?” tanya saya penasaran.
“Pak Foke itu!”
Glek. Saya jadi pengen ketawa.
“Nah, kalau yang tiga tahun bisa itu, apa gak sama ngebodohin rakyat juga, ya, mbak?”
“Iya juga…”
“Tapi siapa dong yang dipilih?”
Saya nyengir. Pagi-pagi diajak ngobrol politik dengan supir taksi. “Yang gak korupsi, Pak.”
“Waaah susah itu!”
“Yang independen aja, Pak. Kan gak berhutang sama partai.”
“Tapi kasian mbak!”
“Kenapa?”
“Nanti diserang kanan kiri. Akhirnya gak bisa kerja juga. Tuh Pak SBY kan nasibnya begitu.”
“Pak SBY kan orang partai, Pak.” Ih, kok gue jadi ikutan?
“Menurut saya itu, mbak, gubernurnya harus tentara! Harus itu, mbak!”
“Kenapa gitu? Bapak gak takut sama tentara?”
“Loooh gak ada yang berani sama tentara, mbak. Disiplin! Motor-motor gak tau aturan macam sekarang ini gak akan bisa lagi sembarangan!”
“Pak SBY juga tentara, Pak.”
Si supir terdiam. “Beda itu tentaranya, mbak…”
Saya ngikik.
“Kalau Bu Mega gimana, Pak?” pancing saya.
“Waaah, jangan! Selain dia juga sudah terbukti gak mampu, kalau perempuan itu susah deh!”
“He?! Maksudnya gimana itu?”
Glek. Si supir nyengir. “Eh, si mbak perempuan juga ya?”
“Iya.”
“Maksud saya, kasihan kalau perempuan. Politik itu jahat. Bukan tempatnya perempuan.”
“Jadi tempat perempuan di mana, Pak?”
Pak supir melirik saya sambil nyengir.
“Gedungnya yang itu, ya, mbak? Mau berhenti di luar atau masuk ke dalam?”
“Ah, Bapak mengalihkan persoalan!”
“Hehe… diterusin lagi besok, mbak, kalau mbak naik taksi saya lagi besok…”

Dan semua percakapan itu bisa terjadi karena saya tidak membawa hape…

159 thoughts on “Ketika telpon pintar itu tak ada…

Leave a Reply to daff Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *