Kalau ada hal yang tidak berubah di negeri ini selama 50 tahun salah satunya adalah seragam Pramuka yang coklat muda coklat tua itu. Mau dipakein dasi merah putih, dikasih topi anyaman, digantungin tali dan pisau di pinggang, teteeeep gak bisa bikin saya dan kulit hitam saya jadi lebih cakep. Dari dulu saya heran kenapa seragam pramuka kita gak berwarna biru seperti laut karena toh nenek moyang kita orang pelaut. Atau hijau seperti pohon karena Indonesia negara agraris. Tapi terlepas dari warna seragam Pramuka yang gak iFriendly (baca: friendly dengan I), saya harus mengakui bahwa tahun-tahun saya ikut kegiatan Pramuka adalah periode yang menyenangkan buat saya.
Jaman saya sekolah dulu -yang tentunya dimulai dari TK- kegiatan Pramuka di sekolah hukumnya wajib kudu. Bukan cuma wajib tapi juga kudu ada karena Pramuka adalah sejatinya propagandanya orde baru untuk membuat para pemuda-pemudi bangsa ini loyal kepada negara (baca: rejim). Jadi, tidak ada freewill. Yang ada setiap hari Sabtu, semua anak -mau anggota atau bukan- harus jadi anggota dan harus pakai seragam Pramuka ke sekolah. Baru saat saya SMA dan mulai melek warna, keanggotaan Pramuka menjadi sukarela.
Keanggotaan Pramuka saya yang paling aktif itu waktu SD. Kelas 4 SD saya sudah mulai kemping. Kalau saya lihat Hikari sekarang yang juga kelas 4, ngelepas dia kemping rasanya kok gak rela. Tapi seumur dia dulu saya bahkan kemping nekat. Gara-garanya ada acara persami (inget? perkemahan sabtu minggu) untuk kelas 5 & 6. Jelas kelas 4 gak diajak. Saya tersinggung. Dan sebagai ketua regu yang baik, saya membuat seluruh anggota regu lainnya ikut tersinggung. Akhirnya, kami sepakat untuk datang ke sekolah dan tetap ikut kemping. Kelas 4 SD. Kelas 4! Sore itu, saya dan belasan teman satu regu datang ke sekolah dengan pakaian lengkap plus tenda dari ponco bapak-bapak kami. Berhubung bapak-bapak kami tentara, peralatan semacam ponco gampang di dapat tentunya. Begitu sampai di sekolah… jreng jreng jreng… sekolah sepi. Ternyata kakak-kakak kelas kami kempingnya di tempat lain! Terus gimana dong? Tanya anggota saya. Ah, kadung udah dandan rapi jali dan udah sore pula, kalo pulang lagi gengsi dong. Jawab saya. Eeeh, kok ya teman-teman saya itu nurut banget sama ketuanya. Jadilah kami gelar tenda dari ponco di taman sebelah sekolah tepat di bawah… Pohon Beringin!
Menjelang jam 7 malam, salah seorang guru yang juga pembina kami datang. Mungkin juga karena dilapori oleh penjaga sekolah. Akhirnya malam itu kami menginap di ruang kelas sekolah. Herannya, besok harinya begitu orang tua kami tahu, kok ya kami enggak diomelin hehehe…
Jabatan saya sebagai ketua ternyata tidak tercoreng gara-gara soal kemping di bawah pohon beringin itu. Saat kelas 5, saya yang masih jadi ketua regu dan teman-teman seregu ikutan persami yang diikuti seluruh sekolah di Halim. Di kegiatan itu ada acara jurit malam. Buat adik-adik yang gak tau apa itu jurit malam, itu adalah kegiatan malam hari yang intinya waktunya para kakak senior nakut-nakutin adek-adek juniornya. Nah jurit malam waktu itu mempunyai rute keliling Halim melewati sawah-sawah yang (saat itu) masih luas. Serem kah? Kayaknya enggak. Namanya anak SD, disuruh begadang sambil maen bareng temen-temen ya seneng aja. Yang bikin kegiatan itu gak pernah saya lupa juga karena ternyata gebetan (halaaah, kelas 5 SD udah ada gebetan) saya yang kelas 6 itu ikuuuuuutan! Malem-malem gitu dia masih cakep aja lagi 🙂
Lulus SD, saya sudah mengantongi pengalaman jadi anggota Pramuka yang kalau bisa dimasukkin ke CV bakal bikin saya jadi Miss Pramuka deh. Segala emblem kecakapan saya punya, saya juga jadi ketua regu seumur-umur di SD gak pernah dilengserin, kemping sini sana ikutan. Yang kurang cuma kulit bening yang bisa cocok dengan seragam. Sewaktu di SMP, saya gak ikut ekskul Pramuka lagi. Saya masuk PMR dengan alasan yang sangat pintar: bisa berteduh pas upacara. Tapi, karena di sekolah kami wajib pakai seragam Pramuka sekali seminggu, ya, seragam Pramuka beserta embel-embelnya saya pakai lagi. Kali ini kaos kaki kami bahkan harus hitam. Nah, soal kaos kaki ini ada cerita begonya. Hari itu kaos kaki hitam saya yang cuma sepasang masih basah. Akhirnya si Mami menyuruh saya pakai kaos kaki hitam Kumendan yang panjang. Jadi lah saya harus ekstra menggulung kaos kaki. Yang saya tidak sadari, saya cuma menggulung kaos kaki yang kiri doang. Singkat cerita, sepanjang saya jalan dari rumah ke sekolah, saya diketawain orang-orang. Padahal sekolah saya jauh dari rumah dan harus tuker angkot 2x plus jalan kaki sekiloan kalau jalanan macet. Karena saya orangnya selalu positive thinking, saya pikir orang-orang sepanjang jalan itu ngefans aja gitu sama saya. Sampai sekitar beberapa meter dari sekolah, saya lihat ada 2 cewek di angkot yang nunjuk-nunjuk saya lalu nunjuk jidat mereka lalu ketawa ngakak. Kata saya ke teman saya yang papasan di gerbang sekolah:
“Kok gue dibilang gila ya?”
“Ya elu emang gila kali. Pakai kaos kaki sebelah pendek sebelah panjang begitu!”
Maka berakhir lah karakter positive thinking saya.
Eniwei, kalau ada orang-orang yang merasa tersiksa dengan Pramuka ini, saya bukan lah salah satunya. Diluar ‘kegunaannya’ yang dilencengkan oleh rejim jaman itu, tujuan Pramuka sangat mulia dengan kegiatan yang -buat saya- sangat menyenangkan. Sayang di sekolah Hikari tidak ada Pramuka padahal dia sangat ingin bergabung. Seandainya saya boleh usul kepada petinggi Pramuka saat ini, mbok ya warna seragamnya agak dikurangi rasa coklatnya gitu loh dan seragam perempuannya boleh pakai celana panjang. Gak enak tau kemping pakai rok!
Dirgahayu Pramuka ke-50. Semoga anggota Pramuka sekarang semakin canggih. Gak cuma berkutat dengan cara membuat api pakai ranting dan batu tapi juga bisa bikin program komputer atau robot sekalian. Amin.