Tes Kepribadian

Pernah dengar teori yang mengatakan kalau kita ingin mengetahui kepribadian seseorang, kita harusnya melihatnya saat menyetir? Bukannya saya tak percaya teori ini, tapi agak susah juga menerapkan teori ini pada orang-orang yang tak bisa menyetir. Sebaliknya saya mempunyai teori yang agak berbeda. Saya malah percaya bahwa kepribadian seseorang bisa terlihat dari caranya duduk di kursi penumpang di sebelah pengemudi. Teori ini saya dapatkan setelah bertahun-tahun menjadi supir orang tua saya.

Menyupiri orang tua sendiri itu lebih banyak ribetnya daripada tenangnya. Ketika ayah saya yang duduk disebelah saya, saya harus mendengarkan laporan pandangan matanya setiap dua meter sekali. Pernah mendengarkan laporan jalannya pertandingan olah raga di radio? Nah, seperti itulah laporan pandangan mata ayah saya.

“Awas, ada lubang di depan!”
atau “Hati-hati, angkot itu mau berhenti.”
atau “Jangan terlalu ke kiri, ada got.”
atau “Jalan pelan-pelan. Rumah itu punya anak kecil yang sering main sepeda.”
atau “Di depan ada kambing merumput. Hati-hati, nanti dia nyebrang tiba-tiba!”
Bahkan kalau ayah saya hendak menunjukkan jalan kepada saya, beliau akan melakukannya satu-dua kilometer sebelumnya.
“Kamu ambil kiri aja. Nanti kita belok kiri di pertigaan.”
“Memang pertigaannya sudah dekat?”
“Sudah. Dua kilo lagi.”

Cara ayah saya duduk di sebelah pengemudi ini serupa benar dengan sifatnya yang selalu penuh perhitungan ke depan, penuh kehati-hatian, dan tak mau ambil resiko! Biasanya saya masih tahan untuk tidak bereaksi –termasuk tidak berkomentar balik- hanya untuk sepuluh menit pertama.

Kebalikan dari menyupiri ayah yang sepertinya bisa dilakukan sambil tidur karena diberi petunjuk yang detil, menyupiri ibu saya itu penuh tantangan seperti sedang ikutan arung jeram. Sebagai orang yang impulsif, ibu saya tidak pernah memberi laporan pandangan mata. Ibu saya juga tidak ambil pusing bila mobil yang saya supiri itu terlalu dekat ke mobil lain, saya ngebut sampai lebih dari 100 kph, atau saya rebutan jalan dengan mobil lain. Yang penting untuknya, bila beliau ingin saya menepi ke kiri tiba-tiba, pada saat itu juga saya harus sigap menepikan kendaraan. Bila beliau menyuruh saya untuk berbelok ke kiri, ibu saya akan mengatakannya ketika belokan itu tinggal semeter lagi jaraknya! Bayangkan bila mobil sedang berjalan cepat atau ada mobil lain di belakang kita! Bisa dibayangkan juga apa yang terjadi bila ayah dan ibu saya berada di dalam satu mobil, atau yang lebih parah lagi, bila salah satu dari mereka menyupiri!

Sifat penuh perhitungan dan tak mau ambil resiko ternyata juga menjadi milik teman kuliah yang sering saya tebengi, Bebi. Walaupun ia tak pernah memberi laporan pandangan mata seperti ayah saya, sepanjang jalan ia mengemudi, ia akan terus menekan klakson. Kalaupun ia sedang disupiri orang lain, ia tetap tak segan menekan klakson mobil! Bila mobil di depan jalan lebih lambat, ia akan mengklakson. Bila lampu hijau sudah menyala, pada detik lampu itu berganti hijau, tangannya akan menekan klakson. Bila ada mobil mendekat kearahnya, ia juga akan mengklakson. Kalau ditanya mengapa ia selalu membunyikan klaksonnya, ia menjawab bahwa ia ingin memberi tahu pengemudi lain kalau mobilnya ada di dekat mereka sehingga mereka tidak gegabah belok kanan atau kiri tanpa melihat keberadaan mobilnya. Bahkan bila ia melihat ada orang berdiri di pinggir jalan, ia akan cepat-cepat mengklakson! Alasannya? “Siapa tahu orang itu mau nyebrang gak pakai lihat kanan-kiri lagi…” Duh!

Bagaimana dengan saya sendiri? Teman-teman dan keluarga saya selalu bilang kalau saya itu kalem, anti panik, sekaligus lurus abis. Ada benarnya juga. Kalau saya sedang mengemudi, rasanya sifat saya yang lurus-pokoknya-yang-pasti-pasti-aja yang lebih menonjol. Saya paling anti dengan penumpang yang memberi petunjuk mencla-mencle. Mau saya, kalau memberi petunjuk itu harus tegas. Kalau kiri ya kiri, kanan ya kanan. Nyasar urusan belakangan.
Tapi kalau saya jadi penumpang yang duduk di sebelah supir, sifat saya yang kalem dan anti panik itu yang biasanya muncul. Seheboh apapun si supir mengemudikan kendaraannya –ngebut, lambat, mepet, seradak-seruduk- saya tidak akan berkomentar karena menurut saya pengemudi harus mengerahkan seluruh kelima panca inderanya pada jalanan di depannya.

Suatu kali, ketika saya dan teman-teman bepergian malam-malam ke Sukabumi untuk urusan klub kami, teman baik saya menyuruh pacarnya berganti tempat duduk dengan saya. Pacarnya duduk di belakang sementara saya duduk di depan di sebelah dirinya. Alasannya? Karena dia ingin ngebut.
Waktu itu kami memang mengejar waktu. Teman saya menyupir mobil secepat-cepatnya di jalanan yang berkelok-kelok, sempit, dan penuh dengan bis antar kota. Seluruh penumpang mobil besar itu sibuk komat-kamit. Kalau tidak berdoa ya menyumpah-nyumpah karena sakit jantung melihat caranya menyupir. Saking tidak tahannya dengan gaya mengemudi ala roller coaster itu, pacar teman saya memohon-mohon supaya mobil dilambatkan.

Mau tahu apa jawab teman saya?
“Ah, si Ade yang duduk di depan tenang-tenang aja tuh!”

Dia gak tau kalau sepanjang jalan tadi saya sibuk merem melek menjaga jantung saya supaya tidak copot…

ilustrasi: istockphoto.com

Leave a Reply