Tiga, empat, lima bulan ini adalah suatu perjuangan buat saya pribadi. Dimulai dari sakit kepala yang tidak kunjung berhenti, demam yang tidak berpenyebab, rasa ringkih yang tidak berkesudahan. Satu, dua, tiga dokter saya datangi. Semua tanpa hasil.
Lalu ada kecurigaan lain yang sudah berumur dua tahunan. Ketika Rezah pergi, saya tidak mendapatkan jawaban apa yang terjadi. Penyakit apa yang membuatnya hilang. Setelah dokter-dokter yang lain, saya berkunjung ke dokter kebidanan. Seminggu kemudian, rasa penasaran saya terjawab. Saya menderita toksoplasma, Rubella, CMV. Tambahkan tiga hal itu dengan tipus dan DBD.
Saya ingin marah pada Tuhan. What did I do wrong?
But you know what, ternyata hari saya mendapatkan jawaban yang berbuah kemarahan di hati saya itu adalah hari dimana semua teka-teki atas apa yang sedang saya alami terjawab. Begitu dokter meresepkan obat untuk tiga virus tadi, saya terbebas dari sakit kepala, demam, dan ngilu tulang yang selama ini hanya diobati oleh obat anti depresan oleh dokter syaraf.
Dua bulan setelah pengobatan, dokter kebidanan langganan saya itu bertanya satu pertanyaan yang selama 8 tahun sejak kelahiran Hikari selalu ditanyakan orang-orang ke kami: mau punya anak lagi?
Malam itu saya pulang dengan janji akan memberi jawaban pada si dokter begitu saatnya saya kembali konsultasi lagi dengannya. Di rumah, saya bertanya pada Papap. Dan Hikari. Papap menyerahkan keputusan pada saya. Menurutnya, karena saya yang akan menjalani kehamilan nanti, saya yang dapat mengukur kesanggupan saya. With or without the second one, he is as happy as he was or will be.
Diluar dugaan, Hikari malah meminta saya untuk hamil. “Aku ingin punya adik, Ma. Aku kan sudah besar.” Dan memang, karena jawaban Hikari, kami akhirnya memutuskan untuk mengikuti program kehamilan.
Berasal dari keluarga besar tanpa masalah kehamilan dan setelah menjalani pengobatan selama 2 bulan, saya ternyata tidak langsung hamil. Rasa santai tanpa beban saya berubah panik ketika saya tiba-tiba mengalami pendarahan ringan di Bandung. Seminggu kemudian, dokter mengatakan saya positif hamil satu bulan. Alhamdulillah. It was 15 weeks ago.
Rasa suka cita kami tiba-tiba harus tergantikan dengan rasa panik. Tiba-tiba kondisi saya ambruk. Pendarahan mulai terjadi, muntah sepanjang hari, demam kembali lagi, berat badan turun drastis… saya tidak bisa menopang diri saya sendiri. Puncaknya adalah ketika di USG, dokter menemukan semacam kista (atau tumor, dia tidak yakin) yang berada pada tali plasenta bayi. They call it either a Wharton Jelly Cyst or an umbilical tumor. Sejak itu, saya tidak berhenti muntah… sampai detik ini.
Apa lalu yang membuat saya waras menjalani hari-hari yang tidak masuk akal lagi? Nyeri di perut, kram, muntah tak berhenti, makanan yang tidak masuk, tidur yang hanya 3-4 jam sehari, demam yang datang dan pergi, sakit kepala karena terlalu sering muntah… Saya marah pada Tuhan. Saya berhenti berdoa. Tapi lalu saya tidak bisa marah lama-lama pada Tuhan karena setiap saat saya memandangi Hikari yang selalu penyayang pada saya dan calon adiknya. Hikari toh hadiah dari Tuhan. Mana bisa saya marah lama-lama pada Tuhan yang telah memberikan dia pada saya?
Tiga, empat, lima bulan ini grafik hidup saya rasanya terus meluncur turun. Tapi di tiga, empat, lima bulan ini juga saya merasakan sayangnya Papap, Hikari, dan teman-teman saya yang tidak berkesudahan.
Saya tidak boleh marah lagi.