Si Kumendan

Si Kumendan alias ayah saya itu berulang tahun ke-68 hari ini. Cerita ini saya ambil dari postingan di blog lama. Selamat ulang tahun, Kumendan! Sisa ucapan ada di doa aku setiap malam.

Salah satu telinga si Kumendan sudah agak rusak. Tidak jelas juga yang mana: yang kiri atau kanan. Menurut Kumendan, dua-duanya sama-sama tak dengar, karena. Menurut dokter, salah satunya memang sudah out of date.

Ceritanya si Kumendan, telinganya itu rusak karena terkena popor senapan waktu latihan lapangan jaman dulu banget. Jaman Kumendan belum jadi kumendan, jaman Kumendan masih disuruh pake baju loreng, jaman Kumendan masih pakai helm baja (yang menjadi bernilai sejarah akibat terkena popor senjata itu), jaman Kumendan masih disuruh latihan tiarap-tiarap (yang gak ada hubungannya dengan job desk-nya), jaman Kumendan -katanya- masih muda dan ganteng. Perkara gantengnya memang gak bisa digubris, karena saya toh terkena keturunan gantengnya…

Rupanya, si Kumendan memendam rahasia telinga rusak karena popor senjata itu kepada dunia. Termasuk kepada si Mami. Alhasil, sejak pacaran-menikah-punya anak-sampai menikahkan anaknya (baca: saya), si Mami sering kali menangis berdarah-darah dalam hati (gak pernah nangis terang-terangan karena katanya gengsi). Ya, Mami pikir Kumendan itu laki-laki yang tidak sensitif terhadap perasaan perempuan yang butuh dimanja dan dibelai (yeah, right!). Si Mami pikir Kumendan sering nyuekin tumpahan perasaan Mami. Si Mami pikir Kumendan sering tidak mau tenggang rasa pada keinginan dan aspirasi perempuan. Padahal…..

Padahal si Kumendan mengalami penderitaan kurang dengar.

Karena itu lah saat saya pacaran saya mengecek indera pendengaran si Papap. Takut kalau-kalau pas saya sedang hot-hotnya sok romantis berbisik-bisik ria, si Papap cuma dengar angin suwir-suwir lewat…

Saya sendiri tidak pernah mengalami sakit hati nangis bombai diam-diam (karena gengsi) kepada si Kumendan, seperti yang dialami si Mami. Ini bukan karena saya punya hati setebal rompi anti peluru. Ini karena saya dan Kumendan tidak pernah bicara lemah lembut.
“De! Sudah jam 6. Siap berangkat ke sekolah!”
“Siap, Kumendan!”
atau
“Jam 9. Waktunya tidur! Masuk kamar!”
“Baik, Kumendan!”
Nah, kan gak perlu berbisik-bisik kalau begitu. Kumendan dan saya pun saling memahami. Bahkan sampai sekarang.
Kring… Kring…
“Halo? Kumendan?”
“Ya! Hikari demam pulang sekolah.”
“Demam?!”

“Iya! Cepat pulang!”
“Pul…?”
Tuuuuutttt………

Masalah pendengaran si Kumendan ini baru terungkap setelah si Kumendan jadi Eyang Kung dan rasa jaimnya berkurang. Itu berarti gak lebih dari 5 tahun yang lalu (padahal si Mami dan Kumendan sudah menikah selama 33 tahun). Setelah mendengar pengakuan si Kumendan, si Mami langsung uring-uringan selama seminggu. Memang gak baik main rahasia-rahasia-an dengan partner hidup…

Belakangan ini, seisi rumah dibuat puyeng dengan Kumendan. Kadang-kadang karena informasi ngawur yang diberikan oleh Kumendan, kadang-kadang karena pernyataan Kumendan yang gak nyambung dengan topik diskusi, kadang-kadang karena mood Kumendan yang tiba-tiba memburuk karena salah tangkap. Untung kita tahu penyebabnya sehingga dengan menaikkan nada bicara satu dua oktaf lebih tinggi, semua masalah bisa diatasi. Semua? Nanti dulu!

Kumendan: “Baterai hpnya sering habis nih. Padahal gak pernah dipake.”
Mami: “Apanya yang gak dipake?! Papa kan sering otak-atik ringtone-nya. Ya habis dipake lah namanya!”
Kumendan, nada tinggi: “Loh? Saya kan pake hp hanya nelpon ke kamu aja. Pake kemana lagi?!”
Mami, menghela napas, menaikkan oktaf: “Itu, otak-atik ringtone sama artinya dengan pake hp juga!”
Kumendan: “Ring apa? Aku nelpon cuma ke kamu kok!”
Adik: “Pi, Papi tuh gak denger atau gatek sih?!”
Kumendan, polos: “Gatek ada di tombol yang mana?”

Pesan moral saya kali ini adalah:
1) Jauhkan telinga anda dari popor senjata.
2) Jangan berikan hp pada orang yang, kurang pendengaran atau kurang tau teknologi.
3) Cinta memang harus jadi kadar tertinggi dalam suatu pernikahan.

Peace!

Leave a Reply