Beberapa waktu lalu, saya dan seorang teman bertemu dengan klien kantor kami. Dua orang bapak-bapak yang usianya jauh di atas kami. Di awal pertemuan, si bapak yang kemungkinan berumur 2x lipat saya, bertanya berapa lama saya dan teman saya itu bekerja di perusahaan ini.
Saya jawab setengah nyesel. 12 tahun. Nyesel kok saya masih mauuuu aja disitu.
Tapi diluar dugaan si bapak malah memuji.
“Wah, mbaknya veteran ya?”
Untuk ukuran kantor saya, bekerja lebih dari 10 tahun memang rekor tersendiri. Itu entah orangnya bego banget atau polos banget. Beda-beda tipis sih (abis ini saya pasti disidang di kantor). Ada banyak faktor kenapa orang keluar masuk di kantor ini. Pertama, lulusan training kantor saya kebanyakan laku dipasaran. Setelah kontrak selesai, mereka langsung cari dolar di tempat lain. Ada juga faktor nikah-hamil-hamil lagi. Karena kebanyakan manusia yang mau jadi guru itu perempuan, setelah kerja setahun mereka biasanya nikah, lalu hamil, lalu hamil, lalu hamil lagi. Terus lupa deh balik kerja. Apalagi sistem kepegawaian kantor kami itu berdasarkan kontrak kerja yang seseorang bisa balik lagi di milenium berikutnya. Karena itu, untuk bisa tahan berada di kantor yang sama selama lebih dari 5 tahun membutuhkan niat, idealisme bodor, kekuatan iman, dan sedikit (atau lebih) kebodohan.
Orang-orang yang bertahan lebih dari 10 tahun di kantor saya ini biasanya sampai hapal jeroan kantor. Dan kata veteran memang pas banget. Ibarat kita pernah di army dan ikut perang, kita adalah veteran atau survivor perang dunia kesatu, kedua, bahkan perang dingin sekalipun. You really don’t want to mess up with us.
Tapi sepertinya, tipe generasi saya yang sedikit bodoh, terlalu idealis, dan sok loyal pada perusahaan sudah berkurang jauh jumlahnya. Tidak seperti generasi jaman dulu yang setia sampai pensiun atau dipensiunkan. Sekarang ada gelombang generasi baru anak kemarin sore (3-5 tahun kayaknya masih dianggap anak kemarin sore) diantara kami.
Jujurnya sih tidak ada yang pernah belagu membedakan sapa anak baru sapa anak lama di kantor karena semua balik lagi ke isi otak masing-masing dan kemauan untuk bekerja keras. Tapi, jujur juga, years of service tidak bisa bohong. Kadang, satu keputusan atau bahkan satu perlakuan terhadap satu kasus bisa mendapatkan solusi yang terbaik karena pengalaman dari bertahun-tahun bekerja. Sementara para generasi muda punya fresh ideas tentang apapun, generasi tua, eh, veteran punya pengalaman supaya tidak terperosok.
Sayangnya, para veteran juga manusia. Mereka, eh, kami seringkali takut dengan hukum alam: resiko. Maunya aman saja. Dan, ketika rasa aman menjadi prioritas, pilihan menjadi sangat terbatas. Bahkan seringkali cara pandang menjadi sempit, atas nama keinginan untuk terlihat bijaksana. Mungkin ada urusannya dengan faktor umur? Sembarangan lu!
Sekarang, saya mau tidak mau menjadi bagian dari kelompok veteran. Bukan hanya dari segi tahun bekerja, juga dari segi cara junior saya memandang saya saat mereka bicara dengan saya: kesannya saya seperti buku pedoman-peraturan-karyawan berjalan. Persoalan saya masih muda dari segi umur dan tampang (halah) seolah tidak menjadi penghalang untuk memasukkan saya ke kategori veteran. Sayangnya, saat seorang veteran sejatinya dianggap sudah bisa duduk tenang di kursi kantor, adem, bijak, jauh dari pecicilan, saya malah sedang gerah-gerahnya.
Kenapa?
Jadi veteran ternyata membosankan dan terkadang tidak mencerahkan jiwa.