There is no such thing as ‘originality’

Film the Social Network rupanya sangat menginspirasi Papap. Seharian, yang diomongin Papap hanya film itu saja. Saya sendiri nontonnya gak sambil konsentrasi. Sambil nge-twit, sambil ngunyah pisang goreng, sambil buka fesbuk, sambil pipis, sambil…. I’m sure you got it already. Sebaliknya Papap berperan seperti reporter TV. Walau saya di dapur (ngunyah pisang goreng, bukan masak) atau di kamar (maen fb dan twitter), Papap bolak-balik nyeritain jalan cerita si film 🙂

Singkat cerita, jauuuuh setelah film selesai, kira-kira 4 jam kemudian, Papap menggumam-gumam. Katanya, “Si Mark akhirnya mau disuruh bayar orang-orang yang nuntut dia. Kok mau ya? Kan dia yang nemuin, dia juga yang membangun si Facebook itu… bla bla…”
Atas protes si Papap saya cuma komentar, “there’s no such thing as original idea nowadays.”

Sekarang arguman saya dimulai ya…

Kuliah umum saya dimulai dengan panca indera manusia. Manusia diberkati dengan adanya panca indera. Dia bisa dengar orang gosip, dia bisa lihat orang buang sampah di kali, dia bisa ngobrol soal banjir di Jakarta, pokoknya banyak lah yang input yang bisa didapat manusia hanya dengan berbekal panca inderanya. Mark bisa terpikir membuat FB karena dia mendapat input itu dari sekelilingnya. Oh iya, dia jenius karena bisa mewujudkan input itu menjadi sesuatu yang nyata dan lebih baik, tapi ide itu datang karena ada input. Dan input itu bisa berupa manusia lain yang menggumam-gumam bagaimana caranya dia bisa mengetahui kabar mantan ceweknya yang sudah lama gak ketemu…

Seorang penulis chicklit di Indonesia (sumpah, bukan saya!) pernah menulis bahwa ada beberapa pembaca bukunya yang berkomentar, “Saya juga punya ide cerita yang sama dengan cerita kamu. Gak ada yang baru di cerita-cerita kamu.”
Penulis itu cuma menjawab singkat. Kira-kira komentarnya berbunyi, “Mungkin cerita-cerita saya tidak ada hal yang baru. Tapi bedanya, saya menuliskan itu dan menjadikannya novel. Kamu hanya membayangkan cerita itu saja.”

Ouch!

Saat saya harus menjalani naik kereta di Tokyo selama sebulan lebih dan duduk diam di sana berulang kali, panca indera saya menyerap semua yang bisa terjadi, baik yang saya sadari atau tidak. Saya lihat 2, 3, 4 cowok ganteng yang mukanya merana. Saya bertemu 1, 2, 3 orang yang sama yang tidak saya kenal dalam sebulan itu di kota sebesar itu. Saya masuk ke resto Soba di jalanan Shinjuku hampir setiap pagi selama sebulan dan akhirnya berteman dengan pemiliknya. Dua bulan kemudian, saya mulai menuliskan semua hal yang saya serap di Shinjuku dan novel To Tokyo To Love pun lahir. Apakah orang lain tidak pernah mempunyai ide yang sama dengan ide saya di novel TTTL itu dimana dua orang yang tidak saling kenal bisa saja bertemu dan menciptakan cerita seandainya mereka diberi waktu yang tepat? Saya curiga ada banyak orang lain yang punya ide atau khayalan seperti itu. Bukannya banyak kejadian pasangan-pasangan yang akhirnya menikah hanya karena sering bertemu di kereta? Lalu, apakah saya bisa dituntut untuk memberi kompensasi pada pasangan-pasangan yang punya sejarah bertemu di kereta dan menikah? Really?!

Kesimpulannya: menurut saya definisi seorang pencipta itu dilihat bukan dari siapa yang mendapatkan ide itu pertama kali, tapi siapa yang pertama kali berhasil menjadikan ide itu nyata. We get inspired, then we make it real. If we get inspired, and do nothing about it, it is called… a wish?

Lalu apa bedanya Terinspirasi dengan Menyontek?

Pada saat saya di Jepang saya pernah dikirimi beberapa novel chicklit dari Jakarta. Teman saya si pengirim ini tahu saya tidak seberapa suka baca novel chicklit Indonesia tapi for the fun of it, dia sengaja menghadiahi saya novel-novel itu. Waktu itu belum banyak penulis yang menerbitkan novel ber-genre chicklit. Novel pertama yang saya baca sampai membuat saya ngomel-ngomel di milis. Novel itu adalah karya awal seorang penulis novel chicklit terkenal di Indonesia (sekarang). Di dalam novel itu, saya menemukan kesamaan adegan si tokoh dengan adegan di film Nine Months yang dibintangi Hugh Grant. Lalu di novel dia berikutnya ada kesamaan adegan lagi dengan film lain. Kalau menurut anda, hal itu karena terinspirasi atau karena menyontek? Kalau anda tanya saya, jawaban saya: saya tidak tahu. Seandainya karya tulis itu seperti lagu yang urusan terinspirasi dengan menyontek bisa sangat jelas. Sejumlah bar terlihat sama, maka lagu itu adalah sontekan dan bukan hasil terinspirasi.

Kesimpulan saya kali ini adalah…
Saya percaya -hari gini- originalitas itu hampir tidak ada. Dengan banyaknya input, eksposur, yang bisa kita dapat setiap detiknya, ide yang sepertinya original sebenarnya hanya perpanjangan ide dari ide-ide lain. Pahit, tapi saya percaya benar adanya. Yang membuat suatu karya menjadi berarti dan patut dirayakan adalah karena si pencipta mampu dan mau berusaha menjadikan suatu ide, suatu inspirasi menjadi kenyataan. Orang-orang yang hanya bisa berkomentar, “Segitu doang? Gue juga bisa kalo begitu sih.” bukanlah seorang pencipta yang patut mendapat apresiasi.

Di lain pihak, seorang pencipta juga harus bisa mempertanggung jawabkan ciptaannya. Terinspirasi itu boleh. Menyontek? Nama anda bisa tercoreng seumur hidup. Mungkin bisa dicoba cara seorang blogger yang ingin menulis satu hal yang sama dengan blogger lain. Blogger itu bisa menuliskan bahwa postingannya terinspirasi dari postingan blogger lain. TENTU saja, walaupun idenya sama, tulisannya gak boleh copy-paste la yaw!

Aaaand, just for the fun of it… Jadi kenapa dong Mark si penemu FB sampai direpotkan dengan urusan tuntut menuntut di pengadilan atas ide FB itu? Kalau kata saya sih, karena FB jadi ngetop banget dan menghasilkan untung besar banget. Coba kalau FB itu proyek gagal. Mana ada yang mau ngaku idenya milik dia?

Ilustrasi dari sini

830 thoughts on “There is no such thing as ‘originality’

Leave a Reply to kentank Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *